JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti senior Habibie Center, Dewi Fortuna Anwar, Selasa (11/12/2012), sangat menyesalkan tulisan artikel (tajuk) rencana yang ditulis mantan Menteri Penerangan Malaysia Zainudin Maidin, yang dianggap sangat menghina mantan Presiden BJ Habibie.
Akan tetapi, Dewi menyebut pemerintah tak perlu mengambil tindakan apa pun karena tulisan itu tidak punya signifikansi strategis lantaran cuma pendapat pribadi.
"Saya sudah baca artikelnya. Sebagai analis, saya sangat heran dengan kata-kata sangat kasar dan kurang proporsional dari seorang mantan pejabat Malaysia terhadap mantan pemimpin negara jiran yang juga sesama anggota ASEAN," ujar Dewi.
Menurut Dewi, kritik Zainudin ke Habibie adalah refleksi kegusaran lama atas kedekatan dan dukungan sang mantan Presiden terhadap Anwar Ibrahim sejak awal Anwar ditahan dahulu. Dalam artikelnya, Zainudin memang menulis, beberapa waktu lalu Anwar memang mengundang Habibie memberi ceramah di di Universitas Selangor.
"Upaya Anwar mendorong reformasi di Malaysia, dengan meniru Indonesia, jelas-jelas dianggap sebagai ancaman besar oleh para tokoh UMNO," tutur Dewi.
Selain itu, Dewi juga menilai pernyataan Zainudin memberi gambaran tentang bagaimana pemerintahan Malaysia menilai dan menanggapi proses reformasi dan demokratisasi yang terjadi di Indonesia ketika itu.
Seperti termuat dalam tulisan Zainudin di harian Utusan Malaysia, Senin (10/12/2012), yang juga diunggah di situs web harian itu, sosok Habibie disebut sebagai "penggunting dalam lipatan" terhadap Soeharto, penyebab perpecahan Indonesia dengan munculnya 48 partai politik.
Selain itu, Zainudin juga menyebut Habibie sebagai pengkhianat bangsa lantaran memenuhi desakan Barat menggelar jajak pendapat di Timor Timur. Atribusi paling keras ditulis Zainudin, dengan menyebut Habibie dan Anwar sebagai sesama Anjing Imperialisme (The Dog of Imperialism) lantaran bersedia menyerahkan negaranya ke lembaga moneter internasional (IMF). Dengan sejumlah alasan itu tadi, tulis Zainudin, Habibie tidak lagi terpilih dalam pemilihan umum berikut dan hanya memimpin Indonesia dengan singkat, selama satu tahun lima bulan.
"Kenyataannya, kan, tidak seperti itu. Dalam konteks Timor Timur, bangsa Indonesia membuktikan diri sebagai bangsa besar yang berani mengakui dan memperbaiki kekeliruan masa lalunya dengan cara bermartabat," ujar Dewi.
Sementara itu, terkait statusnya sebagai presiden, tambah Dewi, Habibie tidak dilengserkan, tetapi justru menawarkan agar pemilu dipercepat. Saat itu Habibie sendiri memang tidak mencalonkan dirinya kembali dan bukannya tak terpilih dalam pemilu.
"Semua pihak sekarang justru mengakui Habibie sebagai Bapak Demokrasi Indonesia. Dia yang meletakkan dasar sehingga sekarang Indonesia diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Bahkan Mesir melihat apa yang terjadi di Indonesia sebagai contoh," ujar Dewi.
Lebih lanjut artikel Zainudin, yang diunggah di situs web harian Utusan Malaysia, tidak dapat lagi diakses sejak sore hari. Saat Kompas coba mengklik, muncul keterangan tautan ke halaman artikel itu rusak (broken link) dan kemungkinan tulisan yang dituju telah dicabut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.