Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan Sisakan Masyarakat Terbelah

Kompas.com - 22/06/2012, 02:21 WIB

Kehidupan bakal jadi sangat berbeda bagi Mya Win (48) dan juga puluhan ribu warga lain setelah kerusuhan berdarah bernuansa sektarian yang melanda provinsi Rakhine di barat Myanmar, setidaknya dalam dua pekan terakhir. Seperti diwartakan, kerusuhan pecah antara warga setempat yang mayoritas pemeluk agama Buddha dan warga Muslim Rohingya.

Menurut data terakhir Pemerintah Myanmar, akibat kerusuhan berdarah itu sedikitnya 80 orang tewas. Hampir 3.000 unit bangunan rumah dan tempat ibadah hancur terbakar. Kerusuhan kabarnya dipicu tindak kriminal oleh tiga warga Muslim Rohingya yang merampok, memerkosa, dan membunuh seorang perempuan lokal warga Buddhis.

Karena penanganan aparat keamanan yang lamban, ratusan warga Buddhis yang marah memukuli hingga tewas 10 warga Muslim Rohingya. Mereka menuduh di antara kelompok warga Rohingya itu terdapat tiga pelaku kriminal tersebut.

Kerusuhan berlanjut dan menjalar ke wilayah lain ketika kedua kubu saling serang sehingga pemerintah menerapkan status darurat di sana. Bahkan, beberapa hari setelah situasi dinyatakan bisa dikendalikan, sejumlah bentrokan sporadis masih berlanjut dan memakan korban jiwa.

”Kami semua memang pernah tinggal berdampingan. Saya menyesalkan kejadian ini. Namun, setelah ini saya tak mau lagi bertemu mereka, apalagi membayangkan untuk bisa tinggal berdampingan lagi seperti dahulu,” ujar Mya dari salah satu lokasi penampungan.

Pendapat dan kekhawatiran lebih kurang sama juga disuarakan salah seorang warga Muslim di ibu kota Rakhine, Sittwe, yang kebetulan bukan berasal dari kalangan etnis Rohingya. Dia meminta identitasnya dirahasiakan. Warga Muslim itu mengaku terpaksa mengungsi bersama seluruh anggota keluarganya ke rumah kerabat di desa lain yang lebih aman.

Saat ini dia mengaku tak yakin jika kerusakan yang terjadi, terutama terkait hubungan antarwarga masyarakat, bisa diperbaiki.

”Saya sudah tinggal di sana sejak 50 tahun terakhir. Sebelumnya kami semua sudah seperti keluarga besar. Namun, setelah kejadian itu mereka semua membenci kami. Mereka sama sekali tak mau lagi melihat wajah kami dan saya juga tak mau kembali ke desa saya,” ujar pria tersebut.

Menurut pakar sejarah dari French School of the Far East yang berbasis di Thailand, Jacques Leider, ketegangan laten antara kelompok Muslim dan Buddhis di Rakhine sebetulnya sudah lama ada.

”Namun, prasyarat untuk bisa hidup bersama adalah adanya kesepakatan atas sesuatu. Persoalan di antara kedua kelompok itu bisa diredakan hanya jika semua pihak bekerja sama,” ujar Leider.

Persoalannya, keberadaan warga Rohingya—yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut sebagai kelompok pengungsi paling teraniaya di dunia—masih terus menjadi ganjalan karena Pemerintah Myanmar sendiri tak pernah mengakui keberadaan mereka. Akses mereka—terutama pada pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dan pelayanan publik lain—selama ini sangat dibatasi.

”Ketika upaya rekonsiliasi tak pernah dilakukan di masa lalu oleh pemerintah, pasca-kerusuhan ini tentu akan butuh waktu relatif lama bagi semua pihak untuk mengobati trauma,” ujar Aung Thu Nyein, analis Vahu Development Institute.

(AFP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com