Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Gempa Paling Ditakuti Warga Jepang

Kompas.com - 12/03/2011, 17:16 WIB

FUJISAWA, KOMPAS.comTotok Suhardijanto, warga Indonesia yang tinggal di Fujisawa, salah satu kota di Jepang yang langsung menghadap Samudra Pasifik, menuliskan pengalamannya di social media Kompasiana saat terjadi tsunami.

Berikut laporan selengkapnya....

Sejak datang pertama kali di Jepang, saya kerap mendapat informasi tentang kemungkinan adanya gempa besar bersiklus 100 tahunan: Gempa Tokai (gempa pesisir timur Jepang). Itu adalah gempa yang ditakuti oleh warga yang tinggal di wilayah yang menghadap ke Samudra Pasifik. Kota saya, Fujisawa, adalah kota pantai yang juga menghadapi samudra itu. Apakah yang baru saja saya alami kemarin itu Gempa Tokai? Saya tidak tahu. Tetapi apa pun itu, saya tak ingin lagi mengalami gempa yang sebesar kemarin.

Ketika gempa berkuatan 8,8 M itu terjadi, saya sedang berada di dalam laboratorium di kampus bersama seorang teman Jepang saya. Saya sempat bertanya kepadanya ketika tiba-tiba mulai merasakan goncangan yang sedikit demi sedikit menguat. “Jishin desuka? (Gempa ya?)” kata saya. Dia mengangguk sambil bingung.

Semula saya ingin bertahan di dalam ruang lab, namun beberapa orang dari lab lain berlarian keluar gedung. Saya ingat pintu lab kami berkunci elektronik. Takut jadi rusak dan sulit terbuka kalau gempanya makin besar, saya dan teman saya memutuskan keluar mengikuti kebanyakan orang yang sudah keluar duluan.

Subhanallah. Baru kali itu saya melihat permukaan bumi seperti tampah yang diguncang-guncang ke sana kemari. Pohon, gedung, tiang listrik, semuanya bergoyang. Sulit berdiri, beberapa orang–termasuk saya–mencoba duduk di tempat yang jauh dari bangunan. Pikiran saya langsung teringat istri dan anak-anak di rumah. Mudah-mudahan Tuhan bersama mereka.

Sempat panik ketika melihat aspal tak jauh dari tempat saya duduk retak. Kepala juga agak pusing karena efek guncangan. Saya hanya bisa pasrah dan berdoa. Gempa itu berlangsung kurang lebih satu menit. Cukup lama. Itulah yang membuat trauma sampai saat ini. Getarannya masih teringat sampai sekarang.

Ketika gempa selesai, saya langsung berusaha menghubungi keluarga di rumah, tetapi jaringan telepon sama sekali tidak bisa dipakai. Ketika sudah tenang kembali, saya mencoba masuk lagi ke dalam lab dengan pikiran yang kalut. Buku-buku, monitor, LCD projector, dan lain-lain berserakan di lantai. Alhamdulillah laptop saya masih ada di atas meja dan jaringan internet pun ternyata masih jalan. Saya berharap istri saya segera mengunggah status di Facebook supaya saya bisa tahu kondisinya. Alhamdulillah, dalam hitungan menit saya lihat status istri saya. Itu membuat saya sedikit tenang. Setelah itu baru saya mengirimkan pesan lewat Twitter dan Facebook. Kedua aplikasi social media itu ternyata menjadi satu-satunya jaringan komunikasi yang cepat dan masih utuh. Dengan Twitter dan Facebook pula saya bisa bertukar kabar dengan teman-teman lain di kota lain di Jepang.

Hal yang sangat saya kagumi pada orang Jepang adalah kesiapan mereka menghadapi bencana yang luar biasa besar ini. Itu membuahkan ketenangan bagi mereka, baik masyarakat, petugas, maupun pemerintah, dalam menghadapi situasi seperti ini. Kesiapan masyarakat barangkali merupakan hasil dari latihan tanggap bencana yang berkali-kali dan secara rutin terus dilakukan. Anak saya yang masih balita pun diberikan latihan khusus agar terbiasa terhadap situasi bencana. Dalam kesempatan tertentu, pemerintah kota setempat memasyarakatkan informasi gempa kepada warga, khususnya anak-anak, dengan menyediakan truk simulator gempa seperti di bawah ini. Kepada warga asing pun disediakan buku manual darurat gempa dalam pelbagai bahasa, seperti bahasa Inggris, Korea, China, Portugis, Spanyol, Vietnam, dan lain-lain.

Selain ketenangan masyarakatnya, salah satu hal yang mengagumkan saya adalah kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jadi, tidak ada kerusuhan atau kegelisahan yang tersebar pada masyarakat. Mereka dengan patuh terus mengikuti perkembangan berita dan informasi dari badan resmi pemerintah. Kami, warga asing, yang tinggal di Jepang pun akhirnya menjadi ikut tenang. Tampak sekali bahwa otoritas informasi di Jepang telah mempersiapkan diri dengan baik sehingga tidak muncul SMS-SMS tidak jelas seperti yang biasa meresahkan masyarakat Indonesia pada saat bencana. Semua informasi bersumber pada satu badan yang mendapat otoritas dari pemerintah. Pihak-pihak provider telekomunikasi pun saling bahu-membahu menyediakan layanan darurat yang bisa digunakan secara bebas dan lintas provider. Hal itulah yang saya kira patut dicontoh oleh Pemerintah Indonesia. Sebenarnya, di Indonesia, saya sudah melihatnya ketika bencana Merapi di Yogyakarta kemarin dengan tampilnya Mbah Rono yang menjadi otoritas informasi.

Karena gempa susulan masih terus terjadi, kami tetap harus waspada. Kekhawatiran akan kebocoran di instalasi reaktor nuklir di Fukushima pun masih menghantui meskipun Amerika Serikat telah memberikan bantuan tenaga ahli dan teknologi. Meskipun semuanya tampak terkendali, ada juga hal-hal lain yang terjadi sebagai akibat bencana ini. Di kota tempat saya tinggal, makanan siap saji sejak semalam mulai diserbu oleh masyarakat. Semalam ada ribuan orang yang terpaksa tidak bisa pulang karena jaringan transportasi lumpuh. Semoga tidak ada WNI yang menjadi korban. Semoga masyarakat, pemerintahan, dan perekonomian Jepang pun dapat kembali pulih dengan cepat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com