Kairo, Kompas
Alun-alun pun berubah menjadi seperti bumi perkemahan ketika sekitar 2.000 demonstran memutuskan menginap di situ dengan mendirikan tenda atau tidur di tempat terbuka sambil membungkus badan dengan selimut wol tebal.
Sebagian dari mereka sengaja tidur di depan roda tank dan kendaraan lapis baja tentara untuk mencegah kendaraan tersebut bergerak mengusir mereka. Para pemrotes bertekad akan tetap bertahan di Alun-alun Tahrir sampai Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri.
Gerakan prodemokrasi yang dijuluki ”Revolusi (Sungai) Nil” itu juga menolak mengakui dialog antara Wakil Presiden Omar Suleiman dan para tokoh oposisi, termasuk perwakilan Ikhwanul Muslimin, sehari sebelumnya. ”Saya menolak dialog. Kami tidak mengakui pemerintahan saat ini. Mubarak harus pergi. Penganiaya itu harus minggat. Kami tak akan putus asa. Kami akan tetap di sini sampai dia pergi,” kata Sayyed Abdel-Hadi (28), seorang akuntan.
Pemrotes lain juga tak mengakui peran Wakil Presiden Suleiman. ”Kami tak ingin Sulei-
Sebagian pemrotes itu juga masih memblokade jalan masuk menuju kompleks Mugamma el-Tahrir, kompleks pusat administrasi pemerintahan Mesir, yang berisi 14 kantor departemen.
Para pegawai negeri dan warga yang membutuhkan layanan administrasi antre di depan pintu masuk yang diblokade para
Untuk menunjukkan revolusi ini tidak dikendalikan kelompok Islam Ikhwanul Muslimin, para demonstran sengaja memilih orang-orang tak berjanggut untuk menjaga semua pintu masuk menuju kompleks Mugamma. ”Saya butuh 10 orang tak berjanggut untuk berjaga di sini,” ujar seorang koordinator lapangan pemrotes.
Meski berada di tengah revolusi, suasana di Alun-alun Tahrir sudah tidak mencekam seperti pekan lalu saat terjadi bentrokan berdarah antara kelompok pro dan anti-Mubarak. Kini suasana di Tahrir bahkan seperti pasar malam, lengkap dengan orang bermain musik, membaca puisi, dan para pedagang asongan menjajakan berbagai macam barang, mulai dari kurma, teh panas, jus buah, keripik kentang, sampai kaus kaki.