Isinya, antara lain, mendesak Pemerintah AS mengambil tindakan militer mendepak rezim Taliban yang berkuasa di Afganistan dan menangkap
Malamnya, masih pada hari yang sama, Presiden Bush berpidato di depan Kongres AS, mendeklarasikan perang melawan teror. Ia menyebut pelaku peristiwa 11 September terkait dengan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Dalam pidatonya, Bush mengultimatum rezim Taliban
Bush menyebut ultimatum ini tanpa syarat dan tidak untuk dirundingkan. ”Jika rezim Taliban menolak, nasibnya akan sama seperti teroris,’’’ ujarnya. Ia menyatakan perang melawan teror diawali dengan menyerang Al Qaeda.
Pidato tersebut memukau anggota Kongres, rakyat AS, ataupun masyarakat internasional. Padahal, mengutip sumber aparat penegak hukum, surat kabar The New York Times (24/9/01) menulis, dua pekan pascaperistiwa 11 September, para investigator belum menemukan kaitan sembilan belas pelakunya dengan kelompok di dalam ataupun luar negeri.
Bagi Presiden Bush dan kelompok neokonservatif khususnya, bukti yang dimaksud tidak diperlukan lagi karena peristiwa 11 September adalah bukti konkret kejahatan teroris, yang disaksikan umat manusia.
Maka, sehari pascaserangan 11 September, persiapan invasi militer telah dibicarakan. Langkah pertama adalah mengisolasi Taliban dari negara sponsornya, yakni Pakistan.
Deputi Menteri Luar Negeri AS Richard Armitage kemudian memanggil Kepala Badan Intelijen Pakistan (Inter-Services Intelligence–ISI) Letjen Mahmoud Ahmed, yang saat itu berada di Washington (12/9/01). Ia mengingatkan, kini hanya ada dua pilihan bagi Pakistan. Yakni, mendukung AS atau menghadapi hujan bom hingga kehidupan di Pakistan kembali seperti di zaman batu.