Mantan tahanan yang bersaksi itu, Keo Chandara (63), mengatakan, dia menggali ribuan tengkorak itu di penjara Kraing Ta, provinsi Takeo, sekitar 80 kilometer sebelah selatan Phnom Pehn, tak lama setelah rezim itu jatuh pada 1979.
"Kami disuruh menggali makam-makam itu. Saya menggali sekitar delapan makam," ujar Keo Chandara.
Saksi yang diajukan jaksa penuntut itu juga memberikan gambaran mengerikan cara para kader Khmer Merah menyiksa tahanan, termasuk seorang perempuan dengan sebuah jepitan besi dan kemudian asam sulfur.
"Dia menjerit dan terdapat sekitar 10 orang tahanan lain diperintahkan untuk duduk dan menyaksikan proses penyiksaan itu," tambah Chandara.
"Saat itu mereka tidak mengajukan orang ke pengadilan seperti ini. Mereka membunuh orang begitu saja," lanjut Chandara.
Pengadilan kejahatan perang Kamboja saat ini tengah menyidangkan Nuon Chea (88) atau dikenal dengan nama "Saudara Nomor Dua" dan mantan kepala negara Khieu Samphan (83). Keduanya menghadapi dakwaan membantai etnis minoritas Vietnam dan Muslim, melakukan pernikahan paksa dan pemerkosaan dalam masa Khmer Merah berkuasa pada 1975-1979.
Jika terbukti, kedua pria uzur itu terancam hukuman penjara seumur hidup. Kedua mantan petinggi Khmer Merah itu membantah semua tuduhan yang diarahkan kepada mereka.
Sekitar 100.000-500.000 etnis Muslim Campa dan 20.000 orang keturunan Vietnam diperkirakan tewas dalam empat tahun masa kekuasan rezim Khmer Merah.
Dipimpin "Saudara Nomor Satu" Pol Poy yang meninggal dunia pada 1998 tanpa pernah diadili, Khmer Merah menghancurkan masyarakat modern Kamboja dalam upaya mereka mendirikan negeri impian pertanian berhaluan Marxis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.