Penulis: DW Indonesia
BAGHDAD, KOMPAS.com - Cuma butuh tiga pekan bagi aliansi Barat untuk menggulingkan diktator Irak Saddam Hussein pada 2003. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah kehancuran dan pertumpahan darah selama dua dekade.
Ketika aliansi Barat menggulingkan Saddam Hussein pada 2003, Adel Amer merayakan apa yang diyakininya sebagai kebebasan dan berakhirnya isolasi internasional.
"Saya menari seperti orang gila dan sempat tidak percaya bahwa Saddam sudah dijatuhkan. Saya merasa seperti burung yang terbebas dari kandang". Adel adalah seorang desertir perang.
Baca juga: Sejarah Perang Irak vs Amerika: Awal Invasi, Tewasnya Saddam Hussein, hingga Pertempuran Lawan ISIS
Dia menolak bertaruh nyawa demi Saddam yang memerintahkan invasi terhadap Iran pada akhir 1980-an. Banyak pula yang mengambil langkah serupa dalam invasi Irak terhadap Kuwait.
Adel dibenci oleh tetangga dan bekas rekan sejawat di dinas kemiliteran. Namun, tidak ada yang berani mengadukannya ke kepolisian karena tahu ancaman eksekusi mati. "Saya banyak menderita dan terkadang, saya berpikir untuk bunuh diri.”
Presiden AS saat itu, George W Bush, memerintahkan serangan udara secara masif pada 20 Maret 2003, dengan klaim bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Tuduhan itu tidak pernah bisa dibuktikan.
Serangan udara pasukan koalisi disusul invasi darat oleh serdadu AS dan Inggris yang mencapai klimaks pada 9 April, yakni kejatuhan ibu kota Baghdad yang terkulminasi pada penggulingan patung Saddam Hussein.
Saddam baru ditangkap pada bulan Desember, saat bersembunyi di sebuah lubang di dekat Kota Tikrit. Dia diadili dan dieksekusi mati sebelum pergantian tahun.
Apa yang kemudian terjadi lebih menyerupai kisah horor, mulai dari perang berdarah di Fallujah, kejahatan HAM di penjara Abu Ghraib, perang saudara antara Sunni dan Syiah, hingga invasi ISIS yang pada 2015 menduduki separuh negeri.
Baca juga: 16 Juli dalam Sejarah: Saddam Hussein Jadi Presiden Irak pada 1979 Pasca-Kudeta
Jika dulu rezim Saddam merupakan satu-satunya sumber ancaman, kini petaka datang dari mana-mana, kata Adel Amer.
Kehidupannya membaik usai bekerja di sebuah perusahaan konstruksi asing pada 2010. Tiga tahun kemudian, dia ditangkap sekelompok milisi bersenjata dan dipukuli hingga babak belur.
"Mereka bilang saya tidak boleh bekerja untuk perusahaan Amerika Serikat karena pekerjaan itu menjadikan saya sebagai seorang mata-mata,” ujarnya.
"Bagi saya sulit menerima situasi ini. Saya tidak menderita di bawah rezim Saddam untuk lalu kehilangan keluarga di tangan teroris … hanya karena saya mengimpikan hidup yang lebih baik.”
Dia tetap bercita-cita meninggalkan Irak dan melanjutkan hidup dengan tenang di tempat lain. "Saya dulu harus bersembunyi di bawah rezim Saddam Hussein, dan sekarang saya lagi-lagi harus bersembunyi,” imbuhnya.
"Sebelum Invasi AS, hanya ada satu orang Saddam. Sekarang jumlahnya banyak.”
Baca juga: Nasib Ratusan Bekas Istana Saddam Hussein di Irak: Megah tapi Terabaikan dan Dicoret-coret
Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul 20 Tahun Invasi AS di Irak: Harapan Berujung Tragedi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.