Saat ini, versi yang paling terkenal dari kebaya salah satunya adalah kebaya kartini, yang populer di kalangan bangsawan Jawa; kebaya kutubaru yang memiliki potongan bahan di lapisan dalamnya agar terlihat seperti kemben; dan kebaya nyonya, yang terbuat dari sutra atau voile berwarna-warni dengan hiasan bordir.
Ketika kebaya diadopsi oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya, di mana orang-orang biasa meniru bangsawan Jawa dan kota-kota pelabuhan kosmopolitan ingin merangkul mode baru, para pengrajin dari setiap daerah membubuhkan cap khas mereka di atasnya.
Baca juga: Singapura Akan Daftarkan Kebaya sebagai Warisan UNESCO Bersama 3 Negara Lainnya
Pelancong yang berkunjung ke Indonesia bisa melihat bagaimana perempuan Bali menutup kebaya mereka dengan selempang warna-warni yang kontras. Sedangkan di Jawa, banyak perempuan mengenakan kebaya putih dengan renda gaya Eropa yang dipopulerkan oleh Belanda pada masa kolonial.
Di Kepulauan Riau, para perempuan memanjangkan keliman kebaya hingga selutut. Lalu di Brunei, perempuan mengenakan kebaya yang terbuat dari kain songket yang ditenun dengan benang emas.
Sementara itu di Malaka dan Penang, Malaysia, beberapa perempuan peranakan (keturunan pedagang China abad ke-14 yang menikahi perempuan lokal Asia Tenggara) menyulam kebaya mereka dengan phoenix dan peony yang merepresentasikan warisan budaya China.
Kebaya juga menjadi simbol kebanggaan dan pembangkangan. Selama Perang Dunia kedua, perempuan Jawa yang ditempatkan di kamp pengasingan Jepang menolak mengenakan apa pun selain kebaya sebagai bentuk pemberontakan dan solidaritas nasional.
Kebaya juga menjadi pakaian nasional Indonesia pada 1945 dan diadopsi oleh maskapai Garuda Indonesia, Malaysia Airlines, dan Singapore Airlines sebagai seragam untuk awak kabin perempuannya.
Singapore Airlines bahkan sampai mengundang couturier Perancis Pierre Balmain untuk mendesain sarung kebaya pada 1974.
Saat ini, bagi sebagian orang di Asia Tenggara, kebaya digunakan untuk acara-acara khusus, meskipun ada juga yang menganggapnya sebagai pakaian sehari-hari.
Kebaya yang dibuat dengan kain mewah dapat dikenakan pada pernikahan Peranakan di Penang, sedangkan versi katun yang lebih adem tampak digunakan para perempuan yang mengendarai motor di jalanan Bali ketika berkegiatan sehari-hari.
“Cerita dari kebaya selalu berubah untuk menyesuaikan berbagai macam situasi sosial, budaya dan politik,” kata Yoong.
“Menurut saya kebaya adalah sesuatu yang terus berkembang,” kata Effendi.
Tidak hanya desainnya yang longgar dan panjang, dia juga mendapat inspirasi dari elemen tradisional seperti kemben, namun membaliknya sehingga sebagian berada di luar kebaya seperti korset yang dipamerkan.
“Ketika saya memakai kebaya, rasanya memberdayakan. Anda seperti menjadi orang lain.”
Baca juga: Duduk Perkara Singapura Daftarkan Kebaya ke UNESCO bersama Malaysia, Brunei, dan Thailand