Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan Mengapa Turkiye Rawan Gempa dan Bagaimana Mengatasinya

Kompas.com - 09/02/2023, 15:28 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Hannah Fuchs & Carla Bleiker/DW Indonesia

GAZIANTEP, KOMPAS.com - Mengapa wilayah Turkiye dan Suriah kerap jadi hotspot gempa, yang pada Senin (6/2/2023) kembali terjadi hingga menewaskan ribuan orang dan meluluhlantakkan ratusan bangunan? Berikut penjelasannya.

Gempa dahsyat yang melanda Turkiye dan Suriah pada Senin (6/2/2023) telah menewaskan lebih dari 15.000 orang. Jumlah korban diperkirakan masih akan terus bertambah.

Tim SAR pun hingga kini masih terus bekerja untuk menyelamatkan warga yang kemungkinan masih tertimbun di bawah reruntuhan.

Baca juga: Kronologi Mengapa Gempa di Turkiye Terjadi dan Perkembangan Terkini

Cuaca buruk menjadi kendala yang harus mereka hadapi. Suhu di area terdampak gempa kerap turun di bawah titik beku, dan beberapa area bahkan mengalami hujan salju lebat.

Menurut manajemen bencana Turkiye, Afad, episentrum gempa bermagnitudo 7,4 itu terletak di provinsi Kahramanmaras yang dekat dengan perbatasan Suriah. Tidak lama setelahnya, gempa susulan berkekuatan 6,6 terjadi di provinsi Gaziantep, kata Afad.

"Puzzle dinamis"

Di Turkiye dan beberapa wilayah lain di dunia, gempa bumi bukanlah hal langka. Tapi kenapa?

Untuk menjawabnya, penting bagi kita untuk melihat kerak bumi seperti puzzle yang dinamis. Layaknya puzzle pada umumnya, kerak bumi juga terdiri dari banyak kepingan-kepingan individu, yaitu lempeng samudra raksasa dan lempeng kerak benua kecil. Belum ada konklusi hingga kini mengenai berapa banyak jumlahnya.

Yang diketahui oleh para ilmuwan adalah lempeng-lempeng ini bergerak beberapa sentimeter (kira-kira 1 inci) setiap tahun. Mereka bisa menjauh, mendekat, atau kadang-kadang saling berhadapan, sehingga menyebabkan benua di atas mereka ikut bergerak. Pergerakan inilah yang disebut sebagai lempeng tektonik.

DW INDONESIA Peta gempa di Turkiye 6 Februari 2023

Risiko gempa di Turkiye sangat tinggi

Turkiye telah lama mendapat perhatian khusus dari para peneliti gempa. Pusat Penelitian Geosains Jerman (GFZ) misalnya, telah memasang peralatan pengukur gempa di sana. Mereka bahkan telah melakukan pemantauan seismik sejak 1980-an di negara tersebut.

Menurut catatan GFZ, risiko gempa bumi di Turkiye dengan kategori sangat tinggi ada di seluruh wilayah sekitar Laut Marmara, di mana Istanbul berada.

Marco Bohnhoff, seismolog dari GFZ, bersama dengan para ahli lain mendasarkan perkiraan ini pada beberapa hal, yakni terjadinya beberapa gempa dahsyat sepanjang sejarah Istanbul, pergeseran benua yang masih terus berlangsung di bawah Laut Marmara, dan adanya area zona gempa tepat di luar Istanbul yang telah lama sepi.

Baca juga: Faktor-faktor Mengapa Gempa Turkiye Begitu Mematikan

"Pertanyaannya sekarang bukan tentang apakah gempa bumi akan datang. Pertanyaannya adalah kapan gempa itu datang,” kata Bohnhoff pada 2019 silam.

Menurut Bohnhoff, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa lempengan-lempengan di area tersebut "tersangkut,” sehingga membuat ketegangan meningkat.

Pada akhirnya, mereka tidak akan mampu lagi menahan ketegangan, dan lempengan-lempengan yang saling mendorong akan bergerak dalam sentakan beberapa meter dalam hitungan detik, kata Bohnhoff.

Pentingnya struktur bangunan stabil

Gelombang gempa yang menggerakkan tanah akan membahayakan bangunan dan infrastruktur, yang pada ujungnya akan membahayakan nyawa manusia pula. Tingkat kerusakannya tergantung pada seberapa kuat gempa yang terjadi.

Sebagai contoh, gempa yang melanda wilayah perbatasan Turkiye-Suriah pada Senin (6/2/2023), telah meluluhlantakkan lebih dari 1.700 bangunan. Itu pun hanya di Turkiye saja.

Untuk itu, cara yang bisa dilakukan adalah dengan konstruksi tahan gempa. Namun sayangnya, ini sangat mahal, kata Bohnhoff.

Selain itu, kondisi tanah tempat bangunan itu dibangun juga tidak kalah penting. Secara umum, semakin keras tanahnya, semakin baik, jelas Bohnhoff.

"Yang terbaik jika lapisan tanahnya adalah granit. Sementara sedimen kering seperti pasir atau tanah liat kurang disukai,” tambahnya.

Menurut Bohnhoff, amplifikasi gerakan tanah lebih mungkin terjadi pada batuan dasar yang lunak, yang terkadang muncul bersama dengan likuifaksi.

Ia menganalogikan proses tersebut dengan pasir basah di pantai.

"Jika Anda berulang kali mengetuk tempat yang sama di pasir, air akan terkumpul di lubang itu. Kemudian bawah permukaan menjadi tidak stabil,” kata seismolog itu.

Baca juga: Kisah Gempa Turkiye: Bapak Pegang Tangan Putrinya yang Tewas, Enggan Melepas meski Cuaca Dingin

Dalam kesempatan terpisah, Mohammad Kashani, seorang profesor teknik struktur dan gempa dari Universitas Southampton di Inggris, menjelaskan bahwa bangunan yang runtuh akibat gempa pada Senin (6/2/2023) kemungkinan besar tidak dirancang untuk gempa berkekuatan besar.

Padahal menurutnya kombinasi kekuatan gempa yang besar dan kedalaman gempa yang dangkal membuat gempa tersebut menjadi sangat merusak.

"Foto-foto menunjukkan bahwa beberapa bangunan yang runtuh mungkin telah dibangun sebelum kode desain seismik modern muncul,” kata Kashani.

"Kita perlu menyelidiki struktur yang runtuh secara detail dan belajar dari peristiwa dahsyat ini untuk merancang struktur dan kota kita agar tahan terhadap peristiwa semacam ini,” tambahnya.

Catatan editor: Versi sebelumnya dari artikel ini terbit dalam bahasa Jerman pada 2 November 2020

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul Mengapa Turkiye Jadi Hotspot Gempa?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com