KETIKA mendengarkan pidato Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, Retno Marsudi, pada Sidang Umum PBB ke-77 di New York, AS, 26 September 2022, lantas ingat pidato Bung Karno pada Sidang Umum PBB ke-15, pada 30 September 1960.
Kedua pidato yang disampaikan pada zaman dan tantangan yang berbeda, sama-sama menarik: mengungkapkan persoalan zaman dan ide untuk menyelesaikan persoalan itu.
Baca juga: Keluh Kesah Menlu Rusia soal Ukraina di Sidang Umum PBB
Tentu, tulisan singkat ini tidak hendak membandingkan Menlu Retno dengan Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia. Rasanya, tidak tepat untuk "membanding-bandingke".
Tetapi, tulisan ini lebih ingin menegaskan bahwa pidato-pidato tersebut memberikan gambaran yang jelas tentang wajah dan sosok politik luar negeri Indonesia, serta standing Indonesia dalam menghadapi persoalan dunia.
Selama 90 menit menyampaikan pidatonya yang berjudul "To Buid The World A New", Bung Karno - orator ulung yang di negeri ini belum ada yang mampu menandingi, sekalipun ada yang berusaha menirunya - mengupas habis-habisan sistem yang dibangun dan dilaksanakan oleh Barat yakni kolonialisme dan kapitalisme yang dianggap menyengsarakan bangsa-bangsa.
Maka presiden pertama RI itu secara tegas menyatakan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme.
Pada saat yang sama, Bung Karno juga memerkenalkan Pancasila dengan seluruh nilai-nilai luhurnya kepada dunia. Kata Bung Karno, “Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional.”
Tentang kondisi zaman, waktu itu Bung Karno, mengatakan, “Dewasa ini segala masalah dunia kita saling berhubungan. Kolonialisme mempunyai hubungan dengan keamanan; keamanan mempunyai hubungan dengan persoalan perdamaian dan perlucutan senjata; perlucutan senjata berhubungan dengan perkembangan secara damai dari negara-negara yang belum maju.
Baca juga: Saat Sukarno Membedah Pancasila di Sidang Umum PBB...
Ya, segala itu saling bersangkut-paut. Jika kita pada akhirnya berhasil memecahkan satu masalah, maka terbukalah jalan untuk penyelesaian masalah-masalah lainnya. Jika kita berhasil memecahkan, misalnya masalah perlucutan senjata, maka akan tersedialah dana-dana yang diperlukan untuk membantu bangsa-bangsa yang sangat memerlukan bantuan itu.”
Kata Bung Karno, masalah-masalah semuanya itu harus dipecahkan dengan penggunaan prinsip-prinsip yang telah disetujui.
Setiap usaha untuk memecahkannya dengan mempergunakan kekerasan, atau dengan ancaman kekerasan, atau dengan pemilikan kekuasaan, tentu akan gagal, bahkan akan mengakibatkan masalah-masalah yang lebih buruk lagi.
Krisis Ukraina, barangkali menjadi salah satu contoh seperti yang dikatakan Bung Karno, yang tidak bisa diselesaikan dengan mempergunakan kekerasan, pada dewasa ini.
Karena itu, Menlu Retno dalam pidatonya sepanjang 11 menit mengajak semua pihak berkolaborasi mengatasi krisis-krisis yang ada. Dengan paradigma baru tersebut ia berharap tatanan yang lebih inklusif bagi semua pihak.
Kata Menlu Retno, "Sekarang bukan saatnya lagi kita hanya berbicara. Sekarang adalah saatnya bagi kita untuk melakukan apa yang kita sampaikan."
Sangat wajar kalau Menlu Retno mengatakan hal itu. Indonesia telah menunjukkan - tidak hanya bicara tetapi bertindak - usahanya dalam membantu penyelesaikan krisis Ukraina.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.