"Hari ini, perempuan terlibat dalam setiap aspek urusan global."
Albright memimpin Kementerian Luar Negeri di dunia pasca-Perang Dingin, ketika Amerika Serikat muncul sebagai satu-satunya negara adidaya.
Setelah era Margaret Thatcher menjalankan pemerintahan Inggris berakhir, Albright jadi wajah baru perempuan kuat di ajang diplomasi global, yang mampu memimpin diskusi penting para pemimpin dunia tentang pengendalian senjata, perdagangan, terorisme, dan masa depan NATO.
Baca juga: Profil Retno Marsudi: Nobody, Anak Gunung, dan Perempuan Pertama Jadi Menlu Indonesia
Lahir sebagai Marie Jana Korbelova di Cekoslowakia pada 15 Mei 1937, Albright datang ke Amerika Serikat sebagai pengungsi bersama keluarganya pada 1948 dan menjadi warga negara AS pada 1957.
Ayahnya, Josef Korbel, seorang diplomat, berpindah agama dari Yahudi ke Katolik setelah keluarganya melarikan diri ke London pada 1939 menghindari kejaran Nazi.
Albright mengaku baru tahu soal darah Yahudi-nya di hari tua, termasuk fakta tiga dari kakek neneknya meninggal di kamp konsentrasi Nazi.
Fasih berbahasa Inggris, Ceko, Perancis, dan Rusia, gelar sarjana Albright didapat dari Wellesley College dan doktoral ilmu politiknya diraih di Columbia University. Setelah itu dia bekerja ke senator Edmund Muskie dari kubu Demokrat.
Di era Presiden Jimmy Carter, Albright bergabung ke Dewan Keamanan Nasional di Gedung Putih. Carter lengser, Albright jadi dosen di Georgetown University, Washington. Meski begitu, suaranya terutama soal kebijakan luar negeri tetap dianggap berpengaruh di Demokrat.
Pada 1993, Albright mendapat mandat menjadi Duta Besar AS untuk PBB. Mandat ini dia pegang sampai 1997 untuk berlanjut menjadi Menteri Luar Negeri AS pada tahun itu.
Sebagai diplomat nomor satu Amerika, Albright menyerukan penggunaan kekuatan ketika konflik di Kosovo berubah menjadi pembersihan etnis.
Seruannya ini konsiten dengan sikap garis kerasnya ketika merespons Perang Bosnia saat dia masih menjadi Duta Besar AS di PBB.
Namun, tetap ada hal yang Albright sesali di sepanjang karier diplomasinya. Seperti diungkap Bloomberg, Albright menyebut penyesalannya adalah tragedi genosida Rwanda pada 1994 dan kegagalan mewujudkan perdamaian Timur Tengah.
Pada 2012, Presiden Barack Obama menyebut keberanian dan ketangguhan Madeleine telah membawa perdamaian ke Balkan dan membuka jalan bagi kemajuan di beberapa sudut yang paling tidak stabil di dunia.
Pernyataan Obama itu disampaikan saat menyerahkan Presidential Medal of Freedom, penghargaan nasional tertinggi di Amerika Serikat bagi rakyat sipil.
Salah satu kunjungan terakhir Albright sebagai diplomat nomor satu Amerika Serikat adalah ke Korea Utara. Di sana dia bertemua dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il.