KOMPAS.com - Strategi Belanda yang paling berhasil dalam menghadapi perlawanan dari penguasa lokal bangsa Indonesia yaitu dengan melakukan politik adu domba atau devide et impera.
Strategi yang juga dikenal sebagai politik pecah belah tersebut dipopulerkan oleh Julius Caesar dalam upaya membangun Kekaisaran Romawi.
Cara melakukan devide et impera adalah menimbulkan perpecahan di suatu wilayah, sehingga mudah untuk dikuasai.
Devide et impera artinya secara harfiah adalah "pecah dan berkuasa".
Baca juga: Kondisi Bangsa Indonesia di Masa Penjajahan Belanda
Dalam buku "Mohamad Isa - Pejuang Kemerdekaan yang Visioner" (2016) karya Feris Yuarsa, contoh politik devide et impera yang diterapkan di Indonesia bisa dilihat di Sumatera.
Belanda mengawalinya dengan membentuk Gerakan Daerah Istimewa Sumatra Selatan (GDISS), untuk mendirikan Negara Sumatera Selatan yang mengusung semboyan "Sumatera Selatan untuk Sumatera Selatan".
Badan tersebut dibentuk dua bulan setelah Agresi Militer 1 dan otak di belakang aksi itu adalah Dr HJ van Mook.
Ia mengembuskan isu separatis dan menghasut bahwa warga Palembang tidak suka dipimpin orang Jawa, Sumatera Utara, atau Sumatera Tengah.
Van Mook bahkan mengatakan secara terang-terangan, penduduk asli Palembang tidak akan pernah menempati posisi kunci selama orang-orang dari luar Palembang berkuasa
Hasutan Van Mook kemudian termakan oleh sebagian kecil warga Palembang yang diiming-imingi dengan berbagai kewenangan dan kekuasaan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.