Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelopor Politik Etis, Politik Balas Budi Belanda pada Masa Penjajahan di Indonesia

Kompas.com - 21/02/2022, 16:00 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Pelopor politik etis atau politik balas budi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia adalah Conrad Theodore van Deventer dan Pieter Brooshooft.

Kebijakan yang coba diterapkan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) pada pergantian abad ke-20. Tujuan politik etis adalah untuk memajukan kesejahteraan penduduk asli Indonesia (Jawa).

Baca juga: 6 Negara yang Pernah Menjajah Indonesia

Menjelang akhir abad ke-19, para pemimpin gerakan etis berpendapat bahwa Belanda memperoleh pendapatan besar dari orang Indonesia melalui kerja paksa Belanda di bawah “Cultuurstelsel”.

Mereka pun berpikir sudah waktunya bagi Belanda untuk membayar “utang kehormatan” kepada rakyat Indonesia dengan mempromosikan reformasi di bidang pendidikan dan pertanian.

Kebijakan ini mengarah pada pengembangan sistem sekolah Belanda di Hindia dan penetrasi lebih lanjut sistem ekonomi Barat di daerah pedesaan.

Baca juga: PM Belanda Minta Maaf ke Indonesia atas Kekejaman Masa Penjajahan

1. Eduard Douwes Dekker 

Eduard Douwes Dekker adalah seorang penulis Belanda yang menggunakan nama samaran saat menerbitkan novelnya, yakni Multatuli. Kata itu berasal dari bahasa Latin yang berarti “Saya sudah cukup menderita” atau “Saya telah banyak menderita”.

Pada 1838 Multatuli pergi ke Hindia Belanda (Indonesia saat itu), di mana ia memegang sejumlah jabatan termasuk sebagai asisten komisaris Lebak, Jawa hingga 1856. Dia mengundurkan diri dan kembali ke Eropa, karena kerap berupayanya melindungi orang Jawa sehingga tidak didukung pemerintah kolonial.

Multatuli menjadi terkenal secara internasional dengan karya satirnya yang paling penting, novel Max Havelaar (1860). Sebagian otobiografi itu mengekspos eksploitasi Belanda terhadap penduduk asli.

Buku novelnya itu laris manis di Belanda, sehingga mulai terjadi perubahan terhadap penduduk asli di Hindia Belanda setelah itu.

Bagi sebagian orang, buku Max Haveler dianggap deskripsi yang berlebihan, namun buku ini bisa menjadi pelopor di balik penerbitan politik etis atau politik timbal balik terhadap Indonesia. 

Baca juga: Permintaan Maaf Belanda Perlu Diikuti Kompensasi Morel dan Materiel

 

2. Conrad Theodore van Deventer

Pemikiran Conrad Theodore van Deventer pertama kali terdengar melalui karyanya yang berjudul “Een Eereschuld" (utang kehormatan) diterbitkan dalam jurnal "de Gids" pada 1899 di Belanda.

Conrad Theodore van Deventer adalah mantan pengacara dan pejabat peradilan kolonial Belanda. Dia selanjutnya menjadi anggota Parlemen Belanda yang memiliki pengaruh besar dalam menyatakan perubahan politik kolonial.

Pada prinsipnya, tulisan Van Deventer memaparkan bagaimana Pemerintah Belanda banyak berutang budi kepada Indonesia, yang telah berkontribusi atas kemakmuran Belanda hingga memiliki surplus kas. Sementara pemerintah kolonial menikmati hasil penjajahan, masyarakat Hindia Belanda masih miskin dan masih terbelakang.

Untuk itu, menurutnya sudah pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral untuk mengembalikan “utang”. Dia pun mengusulkan politik balas budi, atau biasa disebut dengan “Politik etis”.

Usul Van Deventer terwujud setelah pidato Ratu Wilhelmina pada September 1901, ketika gagasan soal pembaruan politik bagi Tanah Kolonial pertama kali dicetuskan oleh pemerintah kolonial.

Kebijakan etis tersebut akhirnya diterapkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Desentralisasi pada 20 Desember 1904. Dengan tiga sektor implementasi (Konsep "trilogi" Deventer) yakni pada sektor “pendidikan”, irigasi, dan emigrasi.

Baca juga: Belanda Ganti Rugi Terhadap Pembunuhan pada Masa Kolonial di Indonesia

Sekolah pertanian untuk Indonesia sebagai salah satu program dari Politik Etis.Tropenmuseum Sekolah pertanian untuk Indonesia sebagai salah satu program dari Politik Etis.
3. Pieter Brooshooft

Pieter Brooshooft adalah seorang penulis dan jurnalis. Dia adalah salah satu pemimpin gerakan politik etis.

Pada 1887, Brooshooft berkeliling pulau Jawa. Setelah perjalanan itu, dia menuliskan situasi yang sangat menyedihkan yang terjadi di Hindia Belanda akibat sistem kerja paksa yang diterapkan Belanda.

Di antara isi tulisannya adalah harus ada partai dari Hindia Belanda agar suaranya terdengar di parlemen. Tulisan itu dilaporkan kepada 12 tokoh politik Belanda, dan ditandatangani 1255 orang.

Ia juga melampirkan bukunya “Memorie over den toestan in indie” (Catatan Situasi di Hindia Belanda), yang berisi kritik terhadap perpajakan dan sistem kota yang diterapkan di Hindia Belanda.

Pada 1904 Brooshooft kembali ke Belanda karena perjuangannya melawan pemerintah kolonial tampak buntu. Artikel terakhir yang ditulisnya berjudul “Perpisahan dengan Orang Sakit”, dimuat di surat kabar Semarang, De Locomotief, pada 31 Desember 1903.

Baca juga: Pasukan Belanda Gunakan Kekerasan Ekstrem di Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com