KOMPAS.com – Konflik Natuna kembali memanas setelah China menuntut Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas alam (migas) karena mengklaim wilayah itu miliknya.
Padahal Indonesia sudah mengatakan bahwa ujung selatan Laun China Selatan adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) milik RI di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan pada 2017 menamai wilayah itu sebagai Laut Natuna Utara.
Dalam konflik Natuna, China selama ini seringkali menggunakan Nine Dash Line sebagai dasar klaim kepemilikan Perairan Natuna.
Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menegaskan tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim China.
Pasalnya, hal itu tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Dalam UNCLOS, telah ditetapkan batas-batas ZEE dari setiap negara yang kaitannya dengan hak melakukan eksploitasi dan kebijakan lain di wilayah perairannya sesuai hukum laut internasional.
Nine Dash Line pada dasarnya merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China.
Nine Dash Line menjadi wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer (km) persegi yang 90 persen darinya diklaim China sebagai hak maritim historisnya.
Jalur Nine Dash Line membentang sejauh 2.000 km dari daratan China hingga beberapa ratus km dari Filipina, Malaysia, dan Vietman.
Baca juga: China Senggol Natuna, Berapa Cadangan Migasnya?
Garis putus-putus itu dilaporkan pertama kali muncul di peta negara China pada 1947, setelah Perang Dunia II.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.