Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 Kelas Prajurit Jepang Masa Feodal: Perbedaan Samurai, Ronin, hingga Ninja

Kompas.com - 15/11/2021, 09:00 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Masa feodal dalam sejarah Jepang banyak dikaitkan sebagai era samurai. Seperti ksatria dalam sistem feodal Eropa, mereka adalah prajurit aristokrasi yang dilengkapi dengan peralatan mahal.

Namun, mereka hanyalah salah satu dari banyak jenis prajurit yang berbeda pada periode itu. Setidaknya ada tujuh kelas prajurit ketika itu di negara yang kini terkenal sebagai “Negeri Sakura”.

Selain samurai sebagai prajurit kelas “bangsawan”, ada juga sohei, ikko-ikki, ronin, ninja, ashigaru, tsukai-ban. Berikut perbedaan ketujuh kelas prajurit Jepang pada masa feodal.

Baca juga: Sejarah Jepang (I): Periode Jomon hingga Lahirnya Shogun

Samurai

Muncul di akhir milenium pertama Masehi, samurai adalah prajurit kelas aristokrasi. Dalam sistem masyarakat mereka berperan sebagai pemilik tanah dan pemimpin masyarakat. Samurai yang paling rendah, bahkan masih lebih kaya dan lebih istimewa daripada kebanyakan orang Jepang pada masanya.

Samurai mulai sebagai pemanah kuda yang mempengaruhi peralatannya, bahkan ketika beralih ke peran mereka sebagai pendekar pedang.

Seiring waktu, prajurit kelas bangsawan ini beralih dari panah ke senjata yang lebih kokoh dan simetris, seperti katana (pedang samurai). Peralihan ini terjadi seiring terjadinya perubahan dari perang jarak jauh ke pertempuran jarak dekat.

Samurai bertarung dengan berbagai senjata, termasuk tombak dan tongkat. Senjata mereka yang paling umum dan ikonik adalah pedang berpasangan dari katana panjang dan wakizashi yang lebih pendek. Keduanya melengkung dengan ujung tajam yang mematikan.

Hampir semua komandan adalah seorang samurai. Mereka adalah elit militer, politik, sosial, dan ekonomi Jepang. Hirarki feodal kepemilikan tanah berarti setiap samurai berutang menjalankan dinas militer kepada pejabat lainnya sampai ke Kaisar.

Dalam pertempuran, samurai menyediakan inti elit pejuang di sebagian besar pasukan dan pasukan gerak cepat dalam penugasan pasukan kavaleri dan infanteri.

Baca juga: Sejarah Samurai : Awal Pembentukan hingga Akhir Kejayaannya di Jepang

Sohei

Dari abad ke-11 hingga abad ke-16, samurai terkadang bertempur bersama atau melawan kelompok prajurit elit lainnya yang disebut “Sohei”.

Sohei adalah biksu prajurit Buddha. Beberapa biara mempertahankan tentara mereka. Mereka memberikan perlindungan selama masa perselisihan dan digunakan selama perselisihan dengan kuil lain atau penguasa samurai.

Kontingen yang paling terkenal dan ditakuti bermarkas di Enryaku-Ji, kuil utama di Gunung Hiei.

Tidak seperti samurai, pasukan sohei biasanya kurang dipersenjatai. Mereka mengenakan baju besi infanteri biasa di atas jubah biara mereka, seringkali dengan jubah luar di atasnya.

Mereka kerap menggunakan rajutan handuk atau aksesoris kepala yang menutupi kepala mereka yang dicukur. Senjata tradisional mereka adalah naginata, sebuah tongkat berbilah.

Sohei bisa menjadi sekutu yang berharga bagi samurai, tetapi mereka juga bisa merepotkan. Pasalnya, mereka menggunakan kekuatan militernya untuk menegaskan independensi biara-biara mereka di hadapan otoritas sekuler.

Baca juga: Sejarah Jepang (II): Nobunaga, Zaman Edo, hingga Zaman Modern

Ikko-Ikki

Abad ke-15 menyaksikan kebangkitan kelompok pejuang agama yang tak kalah menakutkan yang disebut “Ikko-Ikki”.

Ikko-Ikki adalah penganut Buddha Jodo-Shinshu, mengikuti cabang dari Buddhisme Tanah Murni. Mereka percaya pada keselamatan bagi seluruh umat manusia, bukan hanya mereka yang memiliki waktu dan kecenderungan untuk mempelajari detail agama.

Oleh karena itu, mereka lebih egaliter daripada sohei, dan lebih berbentuk gerakan sosial massa bersenjata daripada kader pejuang elit.

Beberapa Ikko-Ikki mencukur rambut mereka sebagai tanda iman mereka. Namun, mereka terlihat dan bertempur seperti tentara samurai yang mereka lawan.

Mereka memperoleh kekuatan yang cukup untuk menguasai provinsi Kaga pada 1488, sebelum didorong kembali ketika Jepang yang retak bersatu kembali pada abad berikutnya.

Mereka mirip dengan pemberontakan petani Eropa, tetapi tambahan fanatisme agama membuat mereka menjadi lawan yang tangguh.

Baca juga: Pedang Katana, Simbol Tradisi Samurai Jepang

Ronin

Samurai memiliki hierarki yang jelas. Setiap prajurit memiliki kepentingan untuk mendapat atau mempertahankan posisi di dalamnya.

Terkadang seorang samurai kehilangan tempatnya dalam hierarki. Itu bisa terjadi ketika daimyo, atau tuannya, meninggal atau dipermalukan, atau meninggalkannya tanpa tuan. Dia kemudian menjadi seorang ronin, sebuah kata yang berarti “manusia ombak.”

Tanpa tanah milik mereka sendiri atau pendapatan tetap, ronin yang tidak punya uang. Mereka pun mencari pekerjaan dengan cara terbaik yang mereka tahu, misalnya dengan bekerja sebagai tentara bayaran.

Selama pergolakan hebat pada akhir abad ke-15 dan ke-16, pekerjaan semacam itu berlimpah. Ketika keteraturan pemerintahan dipulihkan di Jepang, semakin sedikit pekerjaan untuk prajurit ronin.

Baca juga: Nengo: Penamaan Era dalam Kalender Jepang

Ninja

Pembunuh rahasia Jepang, ninja, meninggalkan lebih sedikit informasi tentang aktivitas mereka daripada Ikko-Ikki. Informasi soal ninja penuh dengan rumor, ketidakpastian, dan kerap berlebihan.

Ninja memainkan peran yang sangat berbeda dari kelompok prajurit lainnya. Mereka tidak bertarung di medan perang. Sebaliknya, mereka bertarung dari bayang-bayang, menggunakan samaran dan kelicikan untuk membunuh musuh.

Daimyo Uesugi Kenshin, yang meninggal pada 1578, dikabarkan dibunuh oleh seorang ninja yang menghabiskan berhari-hari bersembunyi di jamban. Ninja menunggu kesempatan menyerang pada saat korbannya dalam kondisi paling rentan dan tidak curiga.

Ninja mengenakan pakaian serba tertutup untuk menyembunyikan diri mereka dari pandangan. Pakaian warna hitam digunakan untuk kerja malam dan cokelat khaki untuk siang hari.

Baca juga: 8 Budaya Jepang Paling Terkenal di Dunia

Ashigaru

Seperti ksatria Eropa, samurai menjadi simbol dari perang yang mereka ikuti karena kemewahan dan status mereka. Namun di balik semua pertempuran itu prajurit yang paling banyak terlibat di garis depan adalah para Ashigaru.

Sebagian besar tentara feodal Jepang terdiri dari ashigaru, prajurit biasa. Peralatan ashigaru sangat bervariasi. Banyak yang memakai okegawa-do, bentuk paling sederhana dari baju perang.

Pakaian itu terdiri dari dua bagian, satu melindungi bagian depan dan yang lainnya bagian belakang, dihubungkan oleh engsel dan kabel.

Para ashigaru bertarung dengan tombak, pedang, dan busur. Pada abad ke-16, senjata bubuk mesiu muncul ke permukaan.

Panglima perang Nobunaga meraih kemenangan besar pada 1575 dengan melengkapi 3.000 ashigaru-nya dengan "arquebus", senapan laras panjang.

Tsukai-ban

Agar dapat bekerja dengan efektif, setiap tentara membutuhkan komunikasi. Setiap daimyo memiliki tsukai-ban, korps utusan.

Para prajurit itu memastikan koordinasi dan transmisi informasi antar unit di medan perang yang sibuk dan kacau.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com