KOMPAS.com - Sejarah Jepang yang panjang dan penuh gejolak diyakini telah dimulai sejak era prasejarah. Para arkeolog setuju pemukiman di kepulauan Jepang sudah ada sejak 100.000 tahun yang lalu. Periode Jomon adalah yang paling awal yang telah diketahui saat ini.
Selanjutnya sejarah Jepang mencatat wilayah tersebut awalnya terdiri dari banyak negara kecil. Tetapi penyatuan terjadi di bawah klan Yamato di awal Periode Kofun.
Berikut ini peristiwa penting dalam sejarah Jepang, dari jaman prasejarah periode Jomon hingga lahirnya Shogun.
Baca juga: Sejarah Jepang (II): Nobunaga, Zaman Edo, hingga Zaman Modern
Periode Jomon Jepang, tercatat mulai dari 12.000 SM hingga sekitar 800 SM. Konon sebelum akhir Zaman Es, gletser besar menghubungkan Jepang ke benua Asia.
Orang-orang Jomon yang mengikuti migrasi hewan buruan yang menjadi "sumber makanannya", melintasi jembatan darat itu. Begitu es mencair, mereka terdampar di kepulauan Jepang
Era ini mendapatkan namanya dari tembikar kuno yang didekorasi oleh masyarakat prasejarah Jepang tersebut. "Jomon" berarti "ditandai dengan tali", yang mengacu pada teknik menekan tali untuk membuat pola pada permukaan tanah liat tembikar ketika masih basah.
Masyarakat Jumon awal adalah pengumpul dan pemburu. Mereka mulai lebih mengandalkan pertanian pada awal periode Yayoi (300 SM – 250 M), ketika penduduk mulai belajar membuat benda-benda dari logam.
Masyarakat periode Yayoi (300 SM-300 M) mulai mengganti perkakas batu dengan perkakas perunggu dan besi. Alat untuk pertanian permanen juga berkembang, seperti cangkul dan sekop, serta alat untuk irigasi sehingga sistem pertanian tumbuh secara signifikan.
Jepang yang pada masa itu, masih dikenal dengan nama “Wa”. Permukiman penduduk mulai permanen dan makanan hampir seluruhnya berasal dari hasil cocok tanam yang disimpan di lumbung dan sumur.
Baca juga: Hasil Pemilu Jepang, PM Fumio Kishida Bawa Partai LDP Menang Lagi
Hasil revolusi pertanian selama periode Yayoi, menyebabkan berkembangnya sistem perdagangan antar kota dan munculnya kota-kota tertentu sebagai hub sumber daya.
Masyarakat pun bertransisi dari berbasis kerja sama menjadi berbasis kompetisi. “Wa” kemudian lebih sering dikenal sebagai masa di mana terjadi perjuangan penuh kekerasan untuk kekuasaan dan dominasi.
Era pertama yang tercatat dalam sejarah Jepang ini disebut juga Periode Kofun (300-710 M). Gundukan kuburan berbentuk lubang kunci yang sangat besar dikelilingi oleh parit menjadi ciri Periode Kofun. Dari 71 yang diketahui ada, yang terbesar besarnya mencapai 4 lapangan sepak bola.
Sementara menurut catatan China kuno, setelah tujuh puluh tahun peperangan keras yang dikenal sebagai Perang Saudara Wa, orang-orang mendambakan perdamaian.
Baca juga: Jepang Sukses Turunkan Kasus Covid-19 Varian Delta Tanpa Lockdown, Ini Caranya
Menghubungkan turbulensi dengan penguasa laki-laki di Wa, penduduk mencari penguasa perempuan untuk naik takhta menjadi penguasa Yamatai. Mereka menemukan Himiko, seorang wanita muda yang diduga mempelajari ilmu sihir.
Sihir dan ilmu gaib yang dibicarakan oleh sumber-sumber tersebut kemungkinan besar merujuk pada kebiasaan dan ritual Shinto awal. Inilah mengapa Himiko disebut ratu dukun.
Masa kepemimpinan Himiko masih menjadi spekulasi dalam sejarah Jepang. Sumber berbeda memunculkan berbagai teori tentang seperti apa pemerintahan dan negara pada masa ini.
Catatan China menggambarkan bagaimana kepemimpinan Himiko menang secara damai atas berbagai negara kecil lainnya di Wa, dan berhasil menyatukan mereka di bawah pemerintahannya.
Baca juga: Putri Mako dari Jepang Buka Suara Setelah Menikahi Rakyat Jelata
Yamato, selanjutnya muncul sebagai klan paling dominan di pusat negara baru yang bersatu itu. Mereka terkenal karena kemampuan membentuk aliansi, penggunaan besi secara luas, dan mengatur orang-orang mereka.
Klan Yamato diperintah oleh Kaisar yang garis keturunannya masih menjadi Kaisar di Jepang saat ini, sehingga menjadikan Kekaisaran Jepang sebagai monarki tertua di dunia. Klan-klan sekutunya termasuk Nakatomi, Kasuga, Mononobe, Soga, Otomo, Ki, dan Haji.
Kelompok sosial ini membentuk aristokrasi dalam struktur politik Jepang yang disebut “Uji”. Setiap orang di dalamnya memiliki pangkat atau gelar tergantung pada posisinya dalam klan.
Tahun 538 menandai awal periode Asuka dan pengenalan agama Buddha ke Jepang, yang dibawa dari Korea. Agama ini dengan cepat mendapatkan pengikut, dan pendukung Buddhisme yang paling menonjol di Jepang adalah Pangeran Shotoku.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Serangan Kamikaze Pertama dalam Perang Jepang-Amerika
Ketika memerintah, dia berbicara kepada penguasa China dengan kalimat "Dari penguasa Negeri Matahari Terbit ke penguasa Negeri Matahari Terbenam." Konon karena itulah, Jepang dikenal sebagai negeri matahari terbit, “Nihon”.
Pangeran Shotoku berafiliasi dengan klan Buddha Soga yang sangat berpengaruh dan bahkan punya kendali atas Kaisar yang berkuasa.
Seiring waktu kepala klan Soga, yang tidak puas dengan posisi di bawah bayang-bayang penguasa, secara terbuka menunjukkan pengaruh dan kekuasaannya. Mereka menampilkan diri seolah-olah berdaulat, tinggal di rumah mewah dan membangun makam besar untuk keluarganya.
Setelah Pangeran Shotoku wafat, perilaku itu mendorong Insiden Isshi, yakni pembunuhan kepala klan Soga terkemuka, Soga no Iruka, dan penghancuran seluruh klannya.
Setelah peristiwa itu, Kaisar Kotoku menetapkan seperangkat aturan dan doktrin yang disebut Reformasi Taika. Tujuannya untuk memusatkan negara di sekitar Istana Kekaisaran sekali lagi.
Baca juga: Puluhan Kapal Hantu Jepang yang Tenggelam dalam Perang Dunia II Terangkat ke Permukaan
Sepanjang periode Nara (710 - 794), Kekaisaran Jepang melakukan upaya untuk membentuk lanskap politik Jepang berlanjut dengan sistem Ritsuryo. Terdiri dari hukum pidana, pembentukan jajaran pengadilan resmi, serta banyak undang-undang yang mendefinisikan pemerintahan dan administrasi.
Kojiki dan Nihon Shoki, dibuat di masa ini untuk lebih melegitimasi kekuasaan tertinggi Kaisar dan menjadi dokumen sejarah tertua Jepang.
Agama Buddha berkembang dan banyak kuil besar seperti Daian-ji, Kofuku-ji, dan Todai-ji, dan Buddha Agung yang terkenal dibangun.
Banyak ide yang sekarang dianggap sebagai tradisi Jepang muncul dalam periode ini. Contohnya, kebiasaan menghitamkan gigi yang disebut “ohaguro”, hingga sistem suku kata “hiragana”.
Namun, kemajuan seni memiliki efek negatif pada administrasi negara. Para bangsawan mengalihkan perhatian mereka pada budaya, daripada menegakkan sistem Ritsury.
Memanfaatkan kondisi kekaisaran Jepang yang lemah, banyak keluarga aristokrat dan kuil-kuil berpengaruh mulai membangun pasukan samurai mereka sendiri.
Baca juga: Mengenal Legenda Kitsune, Rubah dari Mitologi Jepang Kuno
Perkembangan itu membuat sengketa suksesi takhta meletus, dengan persaingan antara keluarga militer berpengaruh Taira (Heike), dan Minamoto.
Persaingan ini memuncak dalam Perang Genpei berdarah (1180 - 1185) yang meletus tepat setelah kudeta oleh Taira, tapi juga berakhir dengan kekalahannya.
Setelah perang, Minamoto no Yoritomo, kepala klan Yoritomo, menjadi penguasa de facto Jepang. Dia merebut kekuasaan istana dan mendirikan pemerintahannya sendiri yang disebut “bakufu”, atau sistem feodal yang dikenal sebagai “Shogun” dalam bahasa Inggris.
Kekuasaan untuk memerintah Jepang dipindahkan dari Kaisar ke Shogun, tapi negara itu jauh dari tenang. Keluarga samurai yang berpengaruh terus berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dalam suasana pertempuran terus-menerus.
Masa bergejolak ini kemudian dikenal sebagai periode Sengoku (1467 – 1603).
Baca juga: Mengenal Tamahagane, Logam Khusus Pembuat Samurai Jepang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.