Kebangkrutan Islandia telah dikaitkan dengan segala hal, mulai dari prinsip neoliberal dan bankir yang sembrono hingga regulasi sektor keuangan yang tidak memadai.
Terlepas dari itu semua, disebutkan bahwa lingkungan keuangan yang diciptakan memungkinkan bank swasta tumbuh begitu cepat dengan mengumpulkan lebih banyak utang dari pada yang bisa mereka tangani.
Alih-alih menyelamatkan bank menggunakan dana pembayar pajak, seperti yang dilakukan AS pada 1840, Islandia memilih untuk memotong kakayaan deposan.
Ekonom seperti Joseph Stiglitz mengatakan bahwa membiarkan bank menerima pukulan adalah pilihan yang tepat. Hipotesis ini terbukti benar pada 2013 karena PDB Islandia tumbuh sebesar 3 persen.
Baca juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang, Menkeu Minta Bantuan Perusahaan Besar
Yunani mengadopsi euro pada 2001, tetapi ekonomi berada dalam kondisi yang bermasalah.
Antara 1997 dan 2007, upah untuk pegawai sektor publik naik 50 persen dan pemerintah mengeluarkan utang besar untuk mendanai Olimpiade Athena 2004, yang menelan biaya 9 miliar euro (Rp 148,9 triliun), menurut Bloomberg Businessweek.
Pada 2012, Yunani mengalami restrukturisasi utang negara terbesar dalam sejarah. Sebelumnya pada 2001, dipegang oleh Argentina yang memegang rekor krisis keuangan sehingga gagal bayar utang dengan nilai sebesar 94 miliar dollar AS (Rp 1,341 triliun).
Kondisi gagal bayar utang di Yunani terjadi setelah 2 tahun mengalami kesulitan ekonomi, dipengaruhi oleh resesi global pada 2008, dan tingkat utang terhadap PDB yang tinggi.
Yunani hanya mewakili 2,5 persen dari ekonomi UE, sehingga krisis negara tersebut hanya menimbulkan sedikit ancaman bagi stabilitas keuangan Eropa.
Namun demikian, negara ini tetap memberikan konsekuensi internasional karena menghalangi pertumbuhan ekonomi jangka pendek di seluruh benua dan membuat euro tetap lemah terhadap dolar AS.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.