Pada tahun 1985, ketika ekspedisi Amerika-Perancis akhirnya menemukan bangkai kapal bersejarah tersebut, para penyelidik menemukan adanya pertentangan dengan temuan sebelumnya.
Disebutkan bahwa Titanic tidak tenggelam dalam keadaan utuh setelah menabrak gunung es tetapi telah pecah di permukaan laut.
Ilmuwan material Tim Foecke dan Jennifer Hooper McCarty menyalahkan lebih dari 3 juta paku keling yang menyatukan pelat baja lambung.
Mereka memeriksa paku keling yang dibawa dari bangkai kapal dan menemukan paku itu mengandung konsentrasi tinggi "terak", residu peleburan yang dapat membuat logam terbelah.
Baca juga: Kate Winslet Mengaku Dapat Gangguan Usai Bintangi Film Titanic
Hal ini mungkin telah melemahkan bagian lambung Titanic yang menabrak gunung es, sehingga menyebabkannya pecah saat benturan.
Selanjutnya, dua studi yang dilakukan sekitar peringatan 100 tahun bencana Titanic pada tahun 2012 menunjukkan bahwa alam memainkan peran kunci dalam nasib kapal tersebut.
Studi pertama menyebutkan, Bumi sangat dekat dengan Bulan dan Matahari pada tahun itu. Hal ini meningkatkan tarikan gravitasi mereka di lautan dan menghasilkan rekor pasang surut.
Selain itu, menyebabkan peningkatan jumlah es yang mengapung di Atlantik Utara sekitar waktu tenggelam.
Sementara, studi kedua menuliskan, kondisi atmosfer pada malam bencana mungkin telah menyebabkan fenomena yang disebut super refraksi.
Penekukan cahaya ini dapat menciptakan fatamorgana, atau ilusi optik, yang mencegah pengintai Titanic untuk melihat gunung es dengan jelas.
Baca juga: Sinopsis Titanic, Cerita Tragis Cinta Rose dan Jack
Banyaknya korban jiwa mungkin dapat dihindari jika kapal tersebut membawa sekoci yang cukup untuk penumpang dan awaknya.
Namun, Titanic hanya membawa 20 sekoci dengan kapasitas total 1.178 orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.