Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Suku Sentinel yang Anti-Orang Asing dan Menolak Modernitas

Kompas.com - 29/09/2021, 16:36 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

 

KOMPAS.com - Kematian pria AS John Allen Chau yang dipanah suku terasing penghuni Pulau Sentinel Utara di Kepulauan Andaman, India, 2018 lalu, sempat jadi bahan perbincangan.

Dunia kembali menyoroti keberadaan kelompok masyarakat yang menutup diri dari dunia luar, yang tega memanah setiap orang asing yang berkunjung

Laporan dari India Today, seperti sempat diulas Kompas.com, menyebutkan bahwa suku Sentinel, yang tinggal di sana, memang unik.

Baca juga: Inilah Pulau Terlarang Dekat Indonesia, Nekat Mampir Langsung Ditombak

Selain tidak mengenal budaya berjabat tangan,
mereka menggunakan salam dengan duduk di pangkuan satu sama lain dan mendaratkan tamparan hangat di punggung mereka sendiri.

Meski begitu, suku yang bertahan hidup dengan berburu dan meramu ini, tak akan ramah dengan orang asing dari luar pulau.

Mereka melesatkan panah sebagai gantinya.

Pernah suatu ketika, ada orang asing yang menginjakkan kaki di pulau tersebut pada akhir abad 19, ketika India berada di bawah kekuasaan Inggris.

Melansir New York Times, seorang perwira angkatan laut Inggris sempat menggambarkan sebuah pulau terpencil yang dikelilingi karang di Laut Andaman.

Baca juga: Catatan Pria AS yang Tewas Dibunuh Ungkap Kehidupan Suku Sentinel

Dia bertemu dengan salah satu suku paling misterius di dunia. Penduduk yang sangat terisolasi dan pemalu.

Mereka makan akar, kura-kura, dan menyimpan tengkorak babi hutan.

Perwira itu bernama Maurice Vidal Portman. Terpesona akan keunikan pulau, dia menculik beberapa anggota suku terdiri pasangan orang dewasa dan empat anak, membawa mereka ke rumahnya di sebuah pulau yang lebih besar.

Pulau besar itu merupakan lokasi Inggris menjalankan penjara. Orang dewasa yang dibawa Portman jatuh sakit dan meninggal dunia.

Kemudian, anak-anak yang diculik dikembalikan ke pulau tersebut. Portman pun mengakhiri eksperimennya yang disebutnya sebagai kegagalan.

Baca juga: Jurnal Pria AS Ungkap Kontak dengan Suku Sentinel Sebelum Dibunuh

Saat itu diyakini populasi suku Sentinel mencapai 8.000 orang, dan sekarang jumlah mereka sekitar 150 orang.

Selama abad-abad berikutnya, beberapa orang luar pernah kembali mengunjungi pulau yang disebut Sentinel Utara.

Hampir setiap orang yang berkunjung disambut dengan terjangan panah. Pada 1970-an, sutradara film dokumenter National Geographic terkena satu panah pada bagian kakinya.

"Kemungkinan penduduk pulau trauma dengan peristiwa penculikan, atau mungkin mereka takut pada penyakit asing," demikian laporan New York Times.

Tidak ada yang pernah tahu persis mengapa mereka begitu bermusuhan dengan orang luar, dan apa bahasa mereka hingga kini tetap menjadi misteri.

Baca juga: Kisah Antropolog India yang Pernah Bertemu dengan Suku Sentinel

Suku Sentinel diyakini bermigrasi dari Afrika pada 50.000 tahun lalu. Mereka menggunakan tombak, busur, dan anak panah untuk berburu binatang.

Mereka juga mengumpulkan tanaman untuk dimakan dan dijadikan rumah.

"Sentinel ingin dibiarkan sendirian," kata antropolog, Anup Kapur.

Anvita Abbi, yang telah menghabiskan puluhan tahun mempelajari bahasa suku di Kepulauan Andaman dan Nikobar, India, turut menyampaikan pendapatnya.

Baca juga: Begini Saran Ahli supaya Dapat Berinteraksi dengan Suku Sentinel

"Hanya untuk rasa penasaran, mengapa kami harus menganggu suku yang telah bertahan selama puluhan ribu tahun," katanya.

Interaksi dengan orang luar dapat menjadi bencana besar bagi kesehatan suku Sentinel, sebab mereka tidak memiliki ketahanan terhadap penyakit asing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com