Geng-geng terorganisir tentara pemerintah dan milisi membantai warga Tutsi di permukimannya dengan parang, atau meledakkan mereka di gereja-gereja tempat berlindung.
Rezim ekstremis etnis Hutu yang berkuasa pada 1994 tampaknya benar-benar percaya bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan kekuasaan adalah dengan memusnahkan etnis Tutsi sepenuhnya.
Dibantu oleh pengawal presiden dan propaganda radio, sebuah kelompok milisi tidak resmi yang disebut Interahamwe (artinya "mereka yang menyerang bersama-sama") dimobilisasi. Pada puncaknya, kelompok ini berkekuatan 30.000 orang.
Tentara dan polisi mendorong warga biasa untuk ambil bagian. Dalam beberapa kasus, warga sipil Hutu dipaksa oleh personel militer untuk membunuh tetangga mereka yang Tutsi
Orang-orang yang mau membunuh Tutsi sering diberi insentif, seperti uang atau makanan, dan beberapa dari mereka bahkan diberitahu dapat mengambil alih tanah Tutsi yang dibunuh.
Situasi genosida Rwanda semakin kacau dengan mundurnya komunitas internasional. Sebagian besar pasukan PBB mundur setelah 10 tentara dibunuh.
Sehari setelah kematian Juvenal Habyarimana, RPF memperbarui serangan mereka terhadap pasukan pemerintah, dan berbagai upaya oleh PBB untuk merundingkan gencatan senjata tidak membuahkan hasil.
Baca juga: Jaminan Ditolak, Pahlawan Hotel Rwanda Dijatuhi 13 Dakwaan Termasuk Terorisme
Genosida Rwanda berakhir pada Juli 1994 setelah RPF merebut Kigali. Pemerintah jatuh dan RPF mengumumkan gencatan senjata.
Segera setelah RPF menang, diperkirakan dua juta orang Hutu melarikan diri ke Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo).
Awalnya pemerintahan multi-etnis dibentuk, dengan seorang Hutu yakni Pasteur Bizimungu sebagai presiden dan Paul Kagame sebagai wakilnya.
Namun, mereka kemudian berselisih dan Bizimungu dipenjara atas tuduhan menghasut kekerasan etnis, sehingga Paul Kagame menjadi presiden.
Meskipun genosida di Rwanda telah berakhir, kehadiran milisi Hutu di RD Kongo turut menyebabkan konflik bertahun-tahun di sana, yang menyebabkan hingga lima juta kematian.
Pemerintah baru Rwanda yang dipimpin Tutsi juga dua kali menginvasi negara tetangganya yang jauh lebih besar itu, dengan alasan ingin memusnahkan pasukan Hutu.
Kelompok pemberontak Tutsi di Kongo tetap aktif, dan menolak untuk meletakkan senjata, karena merasa komunitasnya berisiko menghadapi genosida Rwanda lanjutan.
Baca juga: Pahlawan Hotel Rwanda Dipenjara 25 Tahun karena Terorisme
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.