Tak heran, orang-orang Tutsi menyambut baik kebijakan itu, tetapi di sisi lain kebencian orang Hutu berangsur memuncak.
Ketika Tutsi menikmati kesempatan kerja dan pendidikan yang lebih baik, Hutu yang kesal berkonflik dengan mereka dalam serangkaian kerusuhan pada 1959.
Lebih dari 20.000 orang Tutsi tewas, dan banyak yang melarikan diri ke negara tetangga seperti Burundi, Tanzania, dan Uganda.
Lalu saat Belgia melepas kekuasaan dan memberikan kemerdekaan kepada Rwanda pada 1962, Hutu menggantikan mereka.
Selama puluhan tahun berikutnya, Tutsi menjadi kambing hitam atas segala krisis yang terjadi.
Tahun-tahun sebelum genosida Rwanda terjadi, situasi ekonomi memburuk dan presiden petahana, Juvenal Habyarimana, mulai kehilangan popularitas.
Pada saat yang sama, pengungsi Tutsi di Uganda - didukung oleh beberapa Hutu moderat - membentuk Front Patriotik Rwanda (RPF) yang dipimpin oleh Kagame.
Tujuan mereka adalah untuk menggulingkan Juvenal Habyarimana dan mengamankan hak untuk kembali ke Rwanda.
Juvenal Habyarimana memanfaatkan ancaman ini sebagai cara untuk membawa pembangkang Hutu kembali ke sisinya, dan Tutsi di Rwanda dituduh sebagai kolaborator RPF.
Pada Agustus 1993, setelah beberapa serangan dan negosiasi berbulan-bulan, kesepakatan damai ditandatangani antara Juvenal Habyarimana dan RPF, tetapi tidak banyak membantu menghentikan kerusuhan yang berlanjut.
Tatkala pesawat Habyarimana ditembak jatuh pada awal April 1994, itu adalah awal mula genosida di Rwanda.
Siapa tepatnya yang membunuh presiden - serta presiden Burundi dan banyak kepala staf bersamanya - tak kunjung diketahui dan akibatnya sangat fatal.
Baca juga: Genosida Rwanda, Kisah Anak-anak yang Kehilangan Sejarah Mereka
Dalam beberapa jam, para rekrutan dikirim ke seluruh negeri untuk melakukan pembantaian.
Perancang awal genosida Rwanda termasuk pejabat militer, politisi, dan pengusaha, tetapi banyak orang lain tak lama setelahnya ikut bergabung.