Lonceng gereja El Calvario dan kembang api kemudian menyala di langit subuh, pertanda bahaya bagi masyarakat Cheran.
Warga setempat langsung berlarian untuk membantu. Suasana sangat tegang waktu itu.
"Semua orang di jalanan berlarian membawa parang," kata Melissa Fabian yang saat itu berusia 13 tahun.
"Para perempuan berlarian. Mereka semua menutup wajahnya. Anda bisa mendengar orang-orang berteriak, dan lonceng gereja berbunyi sepanjang waktu."
Baca juga: Kisah Perang Terlama di Dunia, 335 Tahun Tanpa Darah dan Satu Pun Peluru
Polisi kota lalu datang bersama wali kota, dan orang-orang bersenjata tiba untuk membebaskan teman-teman mereka yang disandera.
Sempat terjadi ketegangan antara warga kota Cheran, para penebang, dan polisi, tetapi berakhir setelah dua penebang terluka akibat tembakan kembang api dari seorang pemuda.
"Itu membuatku ingin menangis mengingat hari itu," kenang Margarita. "Seperti film horor - tapi itu hal terbaik yang bisa kami lakukan."
Tak lama usai kekacauan itu, polisi dan politisi lokal diusir karena warga curiga mereka kongkalikong dengan jaringan kriminal.
Partai politik juga dilarang sampai sekarang, karena dianggap menyebabkan perpecahan di masyarakat.
Masing-masing dari empat distrik Cheran lalu memilih perwakilan sendiri untuk dewan kota.
Cheran, yang dihuni penduduk asli Purepecha, pun kembali ke akarnya. Mereka melakukan cara kuno untuk memutuskan sesuatu, terbebas dari pengaruh luar.
Warga Cheran juga mendirikan pos pemeriksaan bersenjata di tiga jalan utama yang menuju kota tersebut.
Saat BBC mengunggah kisah Cheran ini, pos-pos pemeriksaan itu masih ada, dijaga oleh pasukan polisi lokal yang terdiri dari pria dan perempuan setempat.
Semua kendaraan yang hendak masuk disetop, ditanyai dari mana dan ke mana tujuannya.
Cheran juga membuat hukum sendiri untuk pelanggaran ringan, seperti kasus minuman beralkohol yang marak terjadi.