Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

10 Fakta Sejarah Onna-Bugeisha, Samurai Wanita Jepang yang Perkasa

Kompas.com - 17/06/2021, 08:48 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Samurai dipandang sebagai istilah yang maskulin, tetapi samurai wanita sudah ada di Jepang sejak awal 200 Masehi.

Samurai wanita dikebal sebagai Onna-Bugeisha. Para wanita itu dilatih dalam seni bela diri dan strategi, dan bertempur bersama samurai untuk mempertahankan rumah, keluarga, dan kehormatan mereka.

Berabad-abad sebelum munculnya kelas samurai di abad ke-12, onna-bugeisha diakui sama kuat, mematikan, dan tak kenal takut seperti rekan laki-laki.

Berikut 10 fakta tentang onna-bugeisha, seperti yang dilansir dari History Hit:

Baca juga: Perempuan Berdaya: Onna-Bugeisha, Samurai Wanita dari Zaman Kuno Jepang

1. Salah satu onna-bugeisha pertama adalah seorang Permaisuri Jingu

Sejarah onna-bugeisha pertama digambarkan melalui keberanian Permaisuri Jingu (169-269), pejuang wanita pertama dalam sejarah Jepang.

Setelah kematian suaminya, Kaisar Chuai, dia naik takhta dan secara pribadi memimpin invasi ke Silla, yang saat ini kita kenal sesbagai Korea.

Jing? adalah seorang pejuang perkasa yang menentang setiap norma sosial pada masanya. Dia dikatakan hamil ketika dia berperang di Korea.

Legenda mengatakan bahwa dia memimpin ekspedisi yang sukses tanpa terluka, dan terus memerintah Jepang selama 70 tahun berikutnya hingga usia 100 tahun.

Pada 1881, Jingu menjadi wanita pertama yang muncul di uang kertas Jepang.

2. Senjata utama adalah naginata

Onna-bugeisha dilatih untuk menggunakan senjata khusus dirancang untuk wanita, disebut naginata.

Naginata berbentuk tongkat panjang dengan pisau melengkung di ujungnya. Panjang naginata memungkinkan onna-bugeisha menjaga keseimbangan lebih baik, mengingat perawakannya yang lebih kecil dari pria.

Selama masa damai Zaman Edo, naginata menjadi simbol status sosial dan sering menjadi bagian dari mahar untuk wanita bangsawan.

Kemudian, di era Meiji naginata menjadi populer sebagai seni bela diri untuk wanita, banyak sekolah yang diciptakan berfokus pada penggunaan naginata.

Baca juga: Permaisuri Jingu: Sang Legenda Samurai Wanita Penakluk Korea

3. Onna-bugeisha paling terkenal adalah Tomoe Gozen

Perang Genpei (1180-1185) yang terjadi antara dinasti samurai saingan Minamoto dan Taira, memunculkan salah satu pejuang wanita Jepang terbesar, seorang wanita muda bernama Tomoe Gozen.

Gozen yang berarti “wanita”. Tomoe Gozen adalah seorang pendekar pedang legendaris yang memiliki bakat ahli dalam bidang memanah, menunggang kuda, dan seni katana, pedang ikonik yang digunakan oleh samurai.

Pada abad ke-14 "The Tale of Heike", Tomoe Gozen digambarkan sebagai, "pemanah yang sangat kuat, dan sebagai samurai dia adalah seorang pejuang yang bernilai seribu, siap untuk menghadapi iblis atau dewa, berkuda atau berjalan kaki."

Dia dikenal sebagai salah satu dari sedikit pejuang wanita yang terlibat dalam pertempuran, yang dikenal sebagai onna-musha.

Di medan perang, dia dihormati dan dipercaya oleh pasukannya. Pada 1184, ia memimpin 300 samurai ke dalam pertempuran sengit melawan 2.000 prajurit klan Taira dan merupakan salah satu dari 5 orang klan Minamoto yang selamat.

Belakangan tahun itu selama Pertempuran Awazu, dia mengalahkan pemimpin klan Musashi, dengan memenggalnya dan menjaga kepalanya sebagai piala.

Reputasi Gozen begitu tinggi, sehingga dikatakan bahwa pemimpinnya, Lord Kiso no Yoshinaka, menganggapnya sebagai jenderal sejati pertama Jepang.

4. Hojo Masako adalah onna-bugeisha pertama yang terjun ke dunia politik

Istri pertama shogun dari Zaman Kamakura (1185-1333), Hojo Masako adalah onna-bugeisha pertama yang menjadi pemain menonjoldalam politik.

Setelah kematian suaminya, Masako menjadi biarawati Buddha awalnya, tetapi kemudian melanjutkan keterlibatannya dalam politik.

Pada zaman kuno Jepang, seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang seorang samurai, secara tradisi akan menjadi biarawati Buddha.

Dia memainkan peran kunci dalam membentuk karir kedua putranya, Minamoto no Yoriie dan Minamoto no Sanetomo, yang menjadi shogun kedua dan ketiga.

Di bawah ama-shogun, undang-undang yang mengatur pengadilan shogun memungkinkan perempuan memiliki hak yang sama atas warisan dengan saudara kandung.

Wanita memperoleh status yang lebih tinggi dalam rumah tangga, dan diizinkan untuk mengontrol keuangan, memelihara rumah mereka, mengatur para pelayan, dan membesarkan anak-anak mereka dengan asuhan samurai yang tepat.

Baca juga: 10 Fakta Sejarah Samurai Jepang yang Melegenda

5. Mereka milik kaum bangsawan

Onna-bugeisha adalah kelas prajurit bangsawan zaman feodal Jepang yang sudah ada jauh sebelum istilah "samurai" digunakan.
Antara abad 12 dan 19, wanita kelas atas ini dilatih dalam seni perang dan penggunaan naginata , terutama untuk mempertahankan diri dan rumah mereka.

Jika komunitas mereka dikuasai oleh pejuang musuh, onna-bugeisha diharapkan untuk berjuang sampai akhir dan mati dengan terhormat, senjata di tangan.

6 Onna-bugeisha bagian dari samurai

Selama berabad-abad setelah pemerintahan Tomoe Gozen, onna-bugeisha berkembang dan menjadi bagian besar dari kelas samurai.

Prajurit wanita akan melindungi desa dan membuka sekolah di seluruh kekaisaran Jepang untuk melatih wanita muda dalam seni bela diri dan strategi militer.

Meskipun ada banyak klan berbeda yang tersebar di seluruh Jepang, semuanya termasuk prajurit samurai dan semuanya mengakui kehebatan onna-bugeisha.

Sumber-sumber sejarah memberikan beberapa catatan tentang onna-bugeisha, bahwa peran seorang wanita bangsawan Jepang tidak terbatas pada ibu rumah tangga dan istri.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa wanita Jepang sering ikut terlibat dalam pertempuran dengan ditemukannya kerangka dari situs Pertempuran Senbon Matsubaru pada 1580. Di situs itu menunjukkan 35 dari 105 mayat adalah wanita.

Baca juga: Sejarah 3 Samurai yang Dikenal sebagai Pemersatu Jepang

7. Ninja wanita dikenal sebagai Kunoichi

Selama abad ke-16, keberadaan ninja wanita yang dikenal sebagai "Kunoichi".

Ninja bertugas sebagai pembunuh, mata-mata dan utusan dengan misi tertentu. Ia dilatih dalam seni bela diri seperti taijutsu, kenjutsu, dan ninjutsu.

Salah satu kunoichi yang diterima secara historis adalah Mochizuki Chiyome.

Chiyome adalah seorang penyair dan wanita bangsawan yang ditugaskan oleh seorang panglima perang untuk membuat kelompok mata-mata rahasia yang semuanya perempuan.

Ia mengumpulkan berbagai kalangan wanita, termasuk para pelacur dan wanita nakal. Mereka dilatih Chiyome untuk menjadi pengumpul informasi, penggoda, pembawa pesan, dan pembunuh.

Seiring waktu, jaringan bawah tanah kunoichi belajar untuk menyamar sebagai gadis kuil Shinto, pendeta, atau geisha, yang memungkinkan mereka untuk bergerak bebas dan mendapatkan akses ke targetnya.

Akhirnya, Chiyome dan kunoichi-nya telah membangun jaringan luas antara 200 dan 300 agen yang melayani klan Takeda.

8. Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertarungan terakhir mereka

Selama Pertempuran Aizu pada 1868, seorang prajurit wanita berusia 21 tahun bernama Nakano Takeko memimpin sekelompok samurai wanita, yang dikenal sebagai Joshitai, untuk melawan pasukan kaisar.

Takeko adalah putri seorang pejabat tinggi di istana Kekaisaran. Ia berpendidikan tinggi dan terlatih dalam seni bela diri dan penggunaan naginata.

Di bawah komandonya, Joshitai bertempur bersama samurai pria, membunuh banyak prajurit musuh dalam pertempuran jarak dekat.

Dalam akhir riwayatnya, Takeko terkena tembakan peluru di dadanya. Saat sekarat, wanita berusia 21 tahun itu meminta adiknya untuk memenggal kepalanya agar tubuhnya tidak diambil sebagai piala musuh.

Nakano Takeko secara luas dianggap sebagai prajurit samurai wanita hebat terakhir, dan Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertarungan terakhir onna-bugeisha.

Tak lama setelah itu, pemerintahan militer zaman feodal Jepang atau keshogunan jatuh, menandai berakhirnya era samurai.

Baca juga: Perempuan Berdaya: Nakano Takeko, Samurai Wanita Tangguh yang Dipenggal Kepalanya oleh Saudara Sendiri

9. Status onna-bugeisha runtuh selama Zaman Edo

Zaman Edo pada awal abad ke-17 mengubah secara besar-besaran status perempuan di Jepang dan meskipun perempuan terus berjuang dalam pertempuran, status mereka menjadi sangat direndahkan.

Ketika samurai laki-laki mengalihkan fokus mereka dari perang dan menuju pekerjaan dalam pengajaran atau birokrasi, keberadaan onna-bugeisha pun berubah.

Banyak perempuan dipandang sebagai pembawa anak, tidak layak sebagai pendamping dalam perang.

Perjalanan selama Zaman Edo menjadi sulit bagi onna-bugeisha, karena mereka tidak diizinkan mengambil peran tanpa pendamping laki-laki.

Wanita kelas atas dengan kekuasaan, yang perkasa, pengabdian tanpa rasa takut, dan tidak mementingkan diri sendiri, diubah menjadi kepatuhan sipil yang tenang dan pasif.

10. Warisan onna-bugeisha terkubur pada abad ke-19

Pada abad ke-19, orang-orang Barat mulai menulis ulang sejarah budaya perang Jepang. Saat seluruh dunia mengambil gagasan bahwa prajurit samurai adalah laki-laki.

Pencarian heroik onna-bugeisha terkubur dalam sejarah. Wanita Jepang hanya digambarkan sebagai sosok penurut dan tunduk, mengenakan kimono dan obi (sabuk kain) yang terikat erat.

Baca juga: Tragedi Konyol Pemimpin Klan Samurai Jepang Tewas Hanya karena Kentut

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com