Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

10 Fakta Sejarah Onna-Bugeisha, Samurai Wanita Jepang yang Perkasa

Kompas.com - 17/06/2021, 08:48 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Chiyome adalah seorang penyair dan wanita bangsawan yang ditugaskan oleh seorang panglima perang untuk membuat kelompok mata-mata rahasia yang semuanya perempuan.

Ia mengumpulkan berbagai kalangan wanita, termasuk para pelacur dan wanita nakal. Mereka dilatih Chiyome untuk menjadi pengumpul informasi, penggoda, pembawa pesan, dan pembunuh.

Seiring waktu, jaringan bawah tanah kunoichi belajar untuk menyamar sebagai gadis kuil Shinto, pendeta, atau geisha, yang memungkinkan mereka untuk bergerak bebas dan mendapatkan akses ke targetnya.

Akhirnya, Chiyome dan kunoichi-nya telah membangun jaringan luas antara 200 dan 300 agen yang melayani klan Takeda.

8. Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertarungan terakhir mereka

Selama Pertempuran Aizu pada 1868, seorang prajurit wanita berusia 21 tahun bernama Nakano Takeko memimpin sekelompok samurai wanita, yang dikenal sebagai Joshitai, untuk melawan pasukan kaisar.

Takeko adalah putri seorang pejabat tinggi di istana Kekaisaran. Ia berpendidikan tinggi dan terlatih dalam seni bela diri dan penggunaan naginata.

Di bawah komandonya, Joshitai bertempur bersama samurai pria, membunuh banyak prajurit musuh dalam pertempuran jarak dekat.

Dalam akhir riwayatnya, Takeko terkena tembakan peluru di dadanya. Saat sekarat, wanita berusia 21 tahun itu meminta adiknya untuk memenggal kepalanya agar tubuhnya tidak diambil sebagai piala musuh.

Nakano Takeko secara luas dianggap sebagai prajurit samurai wanita hebat terakhir, dan Pertempuran Aizu dianggap sebagai pertarungan terakhir onna-bugeisha.

Tak lama setelah itu, pemerintahan militer zaman feodal Jepang atau keshogunan jatuh, menandai berakhirnya era samurai.

Baca juga: Perempuan Berdaya: Nakano Takeko, Samurai Wanita Tangguh yang Dipenggal Kepalanya oleh Saudara Sendiri

9. Status onna-bugeisha runtuh selama Zaman Edo

Zaman Edo pada awal abad ke-17 mengubah secara besar-besaran status perempuan di Jepang dan meskipun perempuan terus berjuang dalam pertempuran, status mereka menjadi sangat direndahkan.

Ketika samurai laki-laki mengalihkan fokus mereka dari perang dan menuju pekerjaan dalam pengajaran atau birokrasi, keberadaan onna-bugeisha pun berubah.

Banyak perempuan dipandang sebagai pembawa anak, tidak layak sebagai pendamping dalam perang.

Perjalanan selama Zaman Edo menjadi sulit bagi onna-bugeisha, karena mereka tidak diizinkan mengambil peran tanpa pendamping laki-laki.

Wanita kelas atas dengan kekuasaan, yang perkasa, pengabdian tanpa rasa takut, dan tidak mementingkan diri sendiri, diubah menjadi kepatuhan sipil yang tenang dan pasif.

10. Warisan onna-bugeisha terkubur pada abad ke-19

Pada abad ke-19, orang-orang Barat mulai menulis ulang sejarah budaya perang Jepang. Saat seluruh dunia mengambil gagasan bahwa prajurit samurai adalah laki-laki.

Pencarian heroik onna-bugeisha terkubur dalam sejarah. Wanita Jepang hanya digambarkan sebagai sosok penurut dan tunduk, mengenakan kimono dan obi (sabuk kain) yang terikat erat.

Baca juga: Tragedi Konyol Pemimpin Klan Samurai Jepang Tewas Hanya karena Kentut

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com