Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan Berdaya: Onna-Bugeisha, Samurai Wanita dari Zaman Kuno Jepang

Kompas.com - 10/06/2021, 05:49 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Antara 1180-1185, konflik antara dinasti samurai saingan Minamoto dan Taira memunculkan salah satu pejuang wanita paling terkenal dalam sejarah Jepang, yaitu Tomoe Gozen.

Heike Monogatari, sebuah sejarah Jepang abad pertengahan Perang Genpei, memberikan deskripsi karakter yang jelas tentang Tomoe Gozen.

“Tomoe memiliki rambut panjang hitam dan wajahnya sangat indah,” demikian teks itu menceritakan.

"Apalagi dia adalah penunggang yang tak kenal takut yang dapat mengatasi kuda yang paling ganas maupun yang paling kasar, dan dengan begitu cekatan dia menggunakan pedang dan busur, sehingga dia cocok menjadi seribu prajurit."

Keahlian Gozen termasuk memanah, menunggang kuda, dan seni katana, pedang samurai tradisional yang panjang.

Pada 1184, dia memimpin 300 samurai ke dalam pertempuran sengit melawan 2.000 pemberontak klan Taira.

Selama Pertempuran Awazu di akhir tahun yang sama, dia membunuh beberapa musuh sebelum memenggal kepala pemimpin klan Musashi dan menyerahkan kepalanya kepada tuannya, Jenderal Kiso Yoshinaka.

Baca juga: Perempuan Berdaya: 3 Wanita Viking Perkasa dalam Legenda

Reputasi Gozen sangat tinggi, hingga Yoshinaka menganggapnya sebagai jenderal sejati pertama di Jepang.

Munculnya Zaman Edo pada awal abad ke-17 membawa perubahan besar pada status perempuan dalam masyarakat Jepang.

Zaman itu menandai perubahan radikal bagi onna-bugeisha, yang statusnya sebagai pejuang yang menakutkan sangat bertentangan dengan tatanan baru perdamaian, stabilitas politik, dan konvensi sosial yang kaku.

Pria samurai, yang pernah disibukkan dengan konflik sengit, menjadi birokrat Kekaisaran. Sementara wanita, khususnya putri bangsawan dan jenderal, diharapkan menjalani kehidupan kepatuhan pasif sebagai istri dan ibu yang berbakti.

Para wanita dilarang bepergian dan dilarang ikut serta dalam pertempuran, onna-bugeisha mendapati diri mereka menghadapi situasi sulit.

Sejarawan Ellis Amdur mencatat bahwa begitu seorang wanita bushi (samurai) pada waktu itu menikah, menjadi kebiasaan baginya untuk membawa naginatanya ke rumah suaminya, tetapi menggunakannya hanya untuk pelatihan moral.

Itu adalah "lambang perannya dalam masyarakat" dan sarana untuk menanamkan "kebajikan ideal yang diperlukan untuk menjadi istri samurai", yang mencitrakan kekuatan, kepatuhan, dan yang terpenting, ketahanan.

Menurut sejarah yang dicatat Amdur bahwa “Latihan dengan naginata adalah sarana untuk menyatu dengan semangat pengorbanan diri, menghubungkan dengan cita-cita suci kelas prajurit.”

Baca juga: Perempuan Berdaya: Sejarah Revolusioner Wanita Pertama China, Qiu Jin, yang Mati Dipenggal

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com