KOMPAS.com - Samurai umumnya digambarkan sebagai sosok pria, tetapi pada kenyataannya samurai wanita ada di Jepang sejak masa feodal pada awal 200 Masehi.
Namun, setelah Restorasi Meiji pada 1868, sebuah era baru pemerintahan kekaisaran berdiri dengan modernisasi, industrialisasi, dan westernisasi.
Ketika itulah kisah dan warisan samurai wanita yang sama tangguhnya dengan samurai pria memudar dari catatan sejarahnya, seperti yang dilansir dari Vice.
Namun, sebagian masih menganggap penting peran samurai wanita itu, seperti Stephen Turnbull yang menilai "eksploitasi para pejuang wanita adalah kisah terbesar yang tak terhitung dalam sejarah samurai".
Orang Barat menulis ulang sejarah budaya perang Jepang, mengabaikan sosok dan perannya samurai wanita.
Penguasa Barat saat itu menonjolkan wanita Jepang sebagai sosok yang patuh, selalu mengenakan kimono, dan obi (ikat pinggang) yang terikat ketat.
Samurai wanita di Jepang yang sebenarnya memiliki peran dalam sejarah perjuangan di medan perang, dikenal dengan sebutan onna-bugeisha.
Para onna-bugeisha dilatih dengan cara yang sama seperti samurai laki-laki baik dalam melakukan pertahanan diri dan melancarkan serangan.
Namun, mereka memiliki senjata yang dirancang khusus untuk wanita dapat lebih menjaga keseimbangan tubuhnya. Senjata itu disebut naginata.
Baca juga: Cerita Yukio Mishima, Novelis Terkenal Jepang Bunuh Diri dengan Ritual Samurai
Selama bertahun-tahun, onna-bugeisha berjuang bersama samurai laki-laki, dengan standar yang sama dan diharapkan dapat menjalankan tugas yang sama.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.