Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Tahap Tempe Mendunia: Dari Perang Dunia II, Jepang, sampai Amerika

Kompas.com - 06/06/2021, 12:52 WIB
Aditya Jaya Iswara

Penulis

KOMPAS.com - Tempe sebagai makanan khas Indonesia juga populer di luar negeri, tetapi butuh proses panjang agar jadi terkenal seperti sekarang.

Konon, orang-orang Barat sudah mempelajari tempe sejak tahun 1800-an yang berlanjut ke Perang Dunia II hingga berbagai negara.

Melansir berbagai sumber, berikut adalah enam tahap tempe mendunia dan banyak dijual di luar negeri.

Baca juga: 7 Makanan Kesukaan Soekarno, dari Tempe sampai Pais Ikan

1. Dipelajari orang Barat

Ilustrasi tempe dan tahu Ilustrasi tempe dan tahu
Menurut laman Buffalo Brewing, orang Barat pertama yang mempelajari tempe adalah dua ilmuwan Belanda, HC Prinsen Geerlings dan FA Went.

Mereka awalnya mempelajari pemanfaatan produk alternatif gula dari perkebunan gula Belanda pada akhir 1800-an.

Saat itu Indonesia masih berada dalam penjajahan Belanda, sehingga banyak penelitian dilakukan oleh orang "Negeri Kincir Angin".

2. Temuan saat Perang Dunia II

Ketika Perang Dunia II berlangsung, ahli mikrobiologi Belanda, Van Veen, menjadi tahanan perang bersama banyak tentara Amerika oleh Jepang.

Van Veen mencatat selama studi pasca-perang, tempe jauh lebih mudah dicerna daripada kedelai yang dimasak biasa.

Dia menyimpulkan, tahanan perang yang menderita disentri dan edema nyawanya terselamatkan berkat tempe yang kandungan proteinnya sangat mereka butuhkan.

Baca juga: Jadi Makanan Favorit Presiden Soekarno, Ini 7 Jenis Tempe di Indonesia

3. Mulai populer di Eropa hingga Australia

Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Ir Murdijati Gardjito, saat dihubung Kompas.com pada Selasa (8/9/2020) menerangkan, tempe mulai populer di Eropa pada era penjajahan Belanda di Nusantara.

Selanjutnya pada Perang Dunia II, Jepang menduduki Indonesia dan akhirnya mulai menggemari tempe.

“Lalu kemudian Australia juga mengembangkan penelitian mengenai tempe dan Amerika juga seperti itu, bahkan di Kenya mengembangkan tempe sebagai makanan yang bermanfaat,” jelas Murdijati.

Ia juga mengatakan, tempe adalah makanan dari Indonesia yang manfaatnya bisa dirasakan oleh bangsa-bangsa lain di dunia.

4. Terkenal di Amerika pada 1970-an

ilustrasi tempe goreng. SHUTTERSTOCK/Hilal N Zaman ilustrasi tempe goreng.
Buffalo Brewing menyebutkan, peneliti AS pertama yang mempelajari tempe adalah Dr Clifford Hesseltine dari Northern Regional research Center di Peoria, Illinois.

Dia mengembangkan metode fermentasi tempe dalam kantong plastik berlubang sebagai pengganti daun pisang yang biasa digunakan.

Metode inkubasi itu kemudian menjadi yang paling umum digunakan, setelah di Indonesia lalu Amerika Utara.

Tempe kemudian mulai terkenal di AS pada 1970-an setelah dipopulerkan The Farm, sebuah komunitas di Tennessee selatan. Mereka adalah orang-orang vegetarian total yang memakan kedelai.

Alex Lyons bersama Cynthia Bates kemudian mengembangkan rintisan pembuatan tempe rumahan, dengan mendirikan laboratorium kecil di The Farm untuk menghasilkan spora yang diperlukan.

Baca juga: Sandiaga Uno Berambisi Jadikan Tempe sebagai Warisan Budaya Dunia

5. Tempe diproduksi di Jepang

Rustono dan keluarganya memproduksi tempe yang telah menjangkau seluruh pelosok Jepang dan beberapa negara di Eropa.KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN Rustono dan keluarganya memproduksi tempe yang telah menjangkau seluruh pelosok Jepang dan beberapa negara di Eropa.
Berlanjut ke tahun 1980-an, tempe mulai dikenal Jepang sampai mereka mempelajarinya lalu memproduksi filet tempe yang bisa digoreng konsumen di rumah.

Bersamaan dengan populernya tempe di Jepang, makanan ini juga mulai dijenal di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian Asia.

Salah satu merek tempe terkenal di Jepang adalah Rusto's Tempeh milik Rustono pria asal Grobogan, Jawa Tengah.

6. Toko-toko tempe menjamur di luar negeri

Sekarang banyak toko-toko tempe yang berdiri di luar negeri, tersebar dari benua Asia, Eropa, hingga Amerika.

Di Swedia misalnya. Cynthia Andriani, Ellen Putri Edita, Izzan Fathurrahman, dan Giovania Kartika asal Universitas Lund menggagas bisnis berjuluk “Super Tempe”.

Ide mereka mendapat respons positif dari investor Swedia, di mana Izzan berkata mereka mendapat tawaran dari Sweden Food Tech, komunitas pengusaha yang fokus di teknologi pangan.

Ilustrasi tempe goreng dan sate telur untuk lauk makan soto. Dok. Shutterstock/M. Rinandar Tasya Ilustrasi tempe goreng dan sate telur untuk lauk makan soto.
Mengutip Kompas.com pada 8 April 2019, William Mitchell warga Inggris mulai merintis usaha berjualan tempe di London pada 2013, setelah mencobanya saat bekerja di Jakarta 1995 silam.

Kemudian di "Negeri Paman Sam", sepasang suami istri di North Carolina memasarkan produk mereka yang diberi nama Smiling Hara Tempeh.

Kemudian sebuah perusahaan start-up di Inggris mulai memasarkan tempe ke supermarket besar dengan misi memperkenalkan kuliner tersebut ke seantero Eropa.

Melansir situs Vegan Food & Living, perusahaan bernama Plant Power yang menawarkan tempe dijual ke supermarket umum di kawasan Sainsbury.

Alasan mengapa tempe digemari orang, membuat organisasi peneliti pasar Hexa Research melakukan penelitian mengenai peluang pangsa pasar tempe di dunia.

Menurut PRNewswire pada Maret 2019, Hexa memprediksi pasar tempe bisa mencapai 258,7 juta dollar AS atau sekitar Rp 3,6 triliun pada 2025 mendatang.

Baca juga: Sejarah Tempe, Superfood dari Indonesia

Sumber: Kompas.com (Penulis: Ardi Priyatno Utomo, Yana Gabriella Wijaya | Editor: Ardi Priyatno Utomo, Silvita Agmasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com