Namun di luar dari pandangan tersebut, dalam perjanjian damai oleh PBB pada 1947 menunjukkan pembagian yang tidak proporsional, di mana 55 persen tanah dialokasikan kepada Israel.
Negosiasi pada 2008 antara Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas dan mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, Palestina tidak diberi kesempatan untuk memperjuangkan Yerusalem.
Palestina tidak pernah ditawari kesepakatan yang memungkinkan terciptanya negara yang benar-benar merdeka, subur, memadai, dan aman.
Baca juga: Konflik Memanas, Palestina dan Israel Saling Balas Serangan di Udara dan Laut
Pandangan ini muncul dalam narasi yang ingin menggambarkan orang Arab hanya sebagai pihak yang membawa kekerasan, irasional, pra-modern, dan tidak demokratis serta tidak sesuai dengan diplomasi Barat.
Hal itu menyudutkan warga Palestina karena menolak pendudukan dan penindasan brutal mereka dari Israel.
Faktanya, Palestina menginginkan perdamaian dengan mengupayakan sejumlah perjanjian damai, yang diharapkan prasyarat yang mendasar adalah keadilan.
Anti-Semitisme adalah fenomena yang sangat nyata di seluruh dunia. Namun, klaim ini sering ditujukan kepada siapa pun yang mengkritik atau memprotes praktik Israel.
Klaim anti-semit pada praktinya sering disamakan antara Yudaisme, Zionisme, dan Israel sebagai negara. Seolah mengkritik Israel, berarti mengkritik Yudaisme.
Pendapat semacam itu juga mengabaikan fakta bahwa tradisi Yahudi adalah salah satu yang mendambakan keadilan, di mana prinsip murninya sangat bertentangan dengan tindakan pemerintah Israel.
Baca juga: Mesir Buka Perbatasan untuk Bantu Warga Palestina yang Luka Parah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.