Raja Yordania itu tidak ingin berbagi nasib dengan raja Hasyem lainnya di Timur Tengah, sepupu dan temannya Raja Faisal dari Irak. Dia ditembak di halaman istananya dalam kudeta militer pada 1958.
Pawai perang berlanjut dengan meningkatnya masalah di perbatasan Israel-Suriah. Tidak seperti Hussein, yang diyakini Amerika melakukan semua yang dia bisa untuk menghentikan infiltrasi Palestina, Suriah secara aktif mendorong agenda itu.
Israel mendorong klaimnya atas wilayah sengketa di daerah perbatasan secara agresif, dengan mengolah ladang di daerah demiliterisasi dengan traktor lapis baja.
Pertempuran itu memuncak dengan pertempuran udara dan artileri skala penuh antara Israel dan Suriah pada 7 April 1967. Sampai akhirnya Israel mengalahkan Suriah.
Keesokan paginya pemuda Palestina di Yerusalem, menurut diplomat Inggris, menunjukkan "kekaguman dan terpesona pada kompetensi Israel dan ketidakberdayaan Arab di hadapannya."
Mereka lalu bertanya "di mana orang Mesir?" Tekanan tumbuh di Nasser untuk menambahkan tindakan dalam sesumbar kemenangannya atas terusan Suez sulu.
Israel menikmati suasana hati nasional yang mengucapkan selamat. Tetapi beberapa negarawan dan tentara yang lebih tua merasa khawatir.
Di sebuah koridor di parlemen Israel (Knesset), mantan kepala staf militer Moshe Dayan bertemu dengan Jenderal Ezer Weizmann, mantan kepala angkatan udara dan sekarang Rabin nomor dua. "Apakah kamu sudah gila?" Kata Dayan. "Anda memimpin negara untuk berperang!"
Baca juga: Israel dan Korea Selatan Bakal Jalin Perdagangan Bebas
Suriah, dan gerilyawan Palestina yang mendapat sponsor, berusaha lebih keras untuk memprovokasi Israel, dan usahanya terus meningkat.
Bagi Suriah dan Mesir, serta Inggris dan AS, Israel tampaknya sedang merencanakan langkah yang lebih besar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.