Dia mengadakan konferensi pers dengan wartawan asing di Kairo pada 28 Mei, di mana dia mengaitkan krisis di Sinai dan Selat Tiran dengan "agresi" Israel terhadap Palestina.
Hidup berdampingan tidak mungkin karena Israel, katanya, telah merampok dan mengusir orang-orang Palestina pada 1948.
Israel juga dinilai pantas dilawan setelah mengancam "untuk berbaris di Damaskus, menduduki Suriah dan menggulingkan rezim Arab Suriah".
Keyakinan Nasser membuat Raja Hussein dari Yordania terpojok. Hussein tidak memercayai Nasser.
Dia mengaku kepada kepala stasiun CIA di Amman, Jack O'Connel, yang telah menjadi orang kepercayaan dekatnya, bahwa dia yakin Tepi Barat adalah target strategis Israel.
Sementara Perwira senior Hussein mendesak agar pihaknya melakukan koordinasi lebih dekat dengan Nasser.
Bagi Hussein, semuanya bermuara pada kemampuannya bertahan hidup. Dia memutuskan rekonsiliasi dengan Nasser.
Dia percaya bahwa jika dia tidak ikut serta dalam perang, "letusan" di antara rakyat Palestina dapat menyebabkan rezimnya runtuh.
Sedangkan jika dia bertempur, perlindungan udara Mesir mungkin menunda serangan Israel ke Tepi Barat dan memberi waktu cukup lama bagi PBB untuk memberlakukan gencatan senjata.
Pada 30 Mei, Raja Hussein terbang ke Kairo dan melakukan kesepakatan. Ketika dia kembali ke Amman, kerumunan orang yang gembira mencoba mengangkat Mercedesnya sehingga mereka bisa membawanya kembali ke istana.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.