Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang 6 Hari 1967 yang Mengubah Timur Tengah

Kompas.com - 11/05/2021, 09:30 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Perang antara Israel dan tetangganya pecah sejak lebih dari lima dekade lalu. Meski perang ini hanya berlangsung selama enam hari, tetapi pengaruhnya bertahan hingga hari ini di Timur Tengah.

Pada akhir 1948, tetangga Arab Israel sudah menginvasi wilayah lain untuk mencoba menghancurkan negara baru, dan gagal.

Baca juga: Israel Gelar Serangan Udara ke Jalur Gaza, 20 Orang Tewas

Tentara Mesir turut terpukul. Tetapi pasukan, yang mengelilingi tanah yang dikenal sebagai “kantong Falluja” ini, menolak untuk menyerah.

Sekelompok perwira muda Mesir dan Israel mencoba memecah kebuntuan. Di antara mereka adalah Yitzhak Rabin, seorang ahli militer Israel (26 tahun), yang menjadi kepala operasi di front selatan, dan Mayor Mesir Gamal Abdel Nasser (30 tahun).

Hanya beberapa tahun setelah Nazi membunuh enam juta orang Yahudi, impian mendirikan negara di tanah air alkitabiah mereka menjadi kenyataan.

Orang Palestina menyebut 1948 sebagai "al-Nakba", atau "The Catastrophe" (malapetaka). Sejak perang itu, 750.000 orang Palestina melarikan diri atau diusir dari tanah yang menjadi kini Israel, dan mereka tidak pernah diizinkan kembali.

Sementara bagi orang Arab, kalah dari Israel (negara muda saat itu), punya dampak seismik ke sektor politik yang menyebabkan pergolakan selama bertahun-tahun.

Merasa marah atas kekalahan itu, perwira militer yang dipermalukan merebut kekuasaan di negaranya masing-masing.

Suriah mengalami kudeta militer reguler. Empat tahun setelah perang berakhir, Nasser memimpin sekelompok perwira muda yang menggulingkan raja Mesir.

Pada 1956, Nasser menjadi presiden. Pada tahun yang sama, dia menantang Inggris, Perancis, dan Israel dalam krisis Suez, dan menjadi pahlawan dan pemimpin dunia Arab.

Di Israel, Rabin melanjutkan karier militernya. Pada 1967, dia menjadi kepala staf, perwira paling senior.

Orang Arab tidak bisa melupakan rasa sakit karena kekalahan. Sementara orang Israel tidak pernah lupa bahwa tetangga mereka mencoba menghancurkan mereka.

Kedua belah pihak tahu bahwa perang lain akan datang, cepat atau lambat.

Baca juga: Serangan Udara Israel ke Jalur Gaza Menyusul Bentrokan di Masjid Al-Aqsa

Tetangga yang buruk

Israel dan tetangga Arabnya memiliki banyak alasan untuk saling membenci atau curiga. Tapi Perang Dingin pada 1950-an dan 1960-an menambah bahan bakar ekstra.

Uni Soviet memberi Mesir angkatan udara modern. Israel memiliki hubungan yang hangat dengan Amerika Serikat (AS). Tetapi negara itu belum menjadi penerima bantuan militer terbesar AS.

Pada 1960-an Israel juga membeli pesawat dari Perancis dan tank dari Inggris.

Setelah 1948 Israel bekerja tanpa henti untuk bisa menggunakan posisi strategisnya yang terbuka sebaik mungkin. Salah satu caranya dengan menyerap lebih dari satu juta imigran, melalui wajib militer sebagai bagian penting untuk membuat pendatang baru ke Israel.

Israel pun membangun militer yang cepat, fleksibel, dan mematikan. Pada 1967, mereka hampir memperoleh senjata nuklirnya sendiri.

Orang Israel baru ("sabras" atau pir berduri), yang lahir asli di tanah yang mereka tempati saat ini, memiliki tekad yang sama. Mereka tidak ingin apa yang mereka yakini sebagai kesalahan orang Yahudi di diaspora terulang.

Mereka berniat untuk selalu melawan, dan terkadang bertarung lebih dulu.

Rabin yakin bahwa angkatan bersenjata Israel dalam kondisi yang baik. Misi mereka adalah untuk memenangkan setiap perang, dengan alasan bahwa Israel tidak dapat menerima satu kekalahan pun.

Sementara itu, pasukan Mesir dan sekutunya Suriah, kurang terlatih. Mereka terbuai dengan kemenangan politik yang muncul setelah krisis Suez pada 1956, yang sejatinya diawali dengan kekalahan militer.

Nasser berkonsentrasi membangun gerakan nasionalis pan-Arab. Para pendukungnya berharap agenda itu sepenuhnya dapat menciptakan kembali kebesaran Arab, dan membalas dendam pada Israel.

Dia pun bersekutu dekat dengan Marsekal Lapangan Abdul Hakim Amer, panglima tertinggi angkatan bersenjata Mesir.

Baca juga: Ini Penyebab Bentrok Israel dan Palestina di Masjid Al-Aqsa

Sebagai negara kuno, Mesir tidak memiliki ketidaknyamanan seperti yang dirasakan oleh Israel.

Misi Amer yang paling penting dan melakukannya dengan sangat baik, adalah memastikan bahwa tentara tetap setia. Dia membasmi fragmen di negaranya dan membuat korps perwira senang. Sementara semimiliter kurang menjadi prioritas.

Pada 1967, Mesir terjebak dalam perang di Yaman, yang tidak berakhir baik. Tapi Nasser tidak bisa menggantikan Amer dengan prajurit yang lebih baik.

Tentara Suriah sama-sama dipolitisasi, dan seperti Mesir adalah klien Uni Soviet. Serangkaian jenderal berotasi ke kekuasaan dengan serangkaian kudeta.

Orang Arab banyak berbicara tentang persatuan, sosialisme dan nasionalisme, tetapi pada kenyataannya mereka sangat terpecah belah.

Para pemimpin Suriah dan Mesir resah tentang plot yang diduga dihasut oleh monarki di Yordania dan Arab Saudi. Raja khawatir populis militer yang memimpin Suriah dan Mesir akan menghasut revolusi.

Penguasa Yordania, Raja Hussein, adalah sekutu dekat Inggris dan AS. Yordania adalah satu-satunya negara Arab yang muncul dari 1948 sebagai pemenang.

Kakek Hussein, Raja Abdullah, memiliki kontak rahasia dengan Badan Yahudi, badan utama yang mewakili orang-orang Yahudi dalam Mandat Inggris di Palestina.

Mereka membahas membagi tanah di antara mereka setelah Inggris berencana angkat kaki dari wilayah itu pada 1948.

Pada 1951 seorang nasionalis Palestina membunuh Abdullah di Masjid al-Aqsa di Yerusalem. Pangeran Hussein yang berusia lima belas tahun melihat kakeknya meninggal, dan keesokan harinya membawa senjata untuk pertama kalinya. Setahun kemudian dia menjadi raja.

Setelah perang 1948, Yordania dan Israel nyaris berdamai meski kemungkinannya masih jauh.

Pembicaraan rahasia berlanjut hingga pemerintahan Hussein. Dia menyadari kelemahan Yordania. Yakni, gurun pasir dan populasi pengungsi Palestina yang besar dan bergolak.

Baca juga: Polisi Israel Bentrok Lagi dengan Warga Palestina di Masjid Al-Aqsa, 180 Terluka

Sindrom Suriah

Perang pada 1967 terjadi sebagai akibat dari meningkatnya ketegangan selama bertahun-tahun dan pertempuran sengit di perbatasan antara orang Arab dan Israel.

Perbatasan antara Mesir dan Israel relatif tenang. Titik bentrok terbesar adalah perbatasan utara Israel dengan Suriah.

Sebab di situ, mereka memperebutkan wilayah yang disengketakan. Sementara Suriah berupaya untuk mengalihkan Sungai Yordan dari jaringan air nasional Israel.

Karena itu, Suriah melindungi gerilyawan Palestina, yang melakukan penggerebekan ke Israel.

Kekuatan-kekuatan Barat tidak memiliki keraguan tentang pihak mana di Timur Tengah yang lebih kuat menjelang perang pada 1967.

Kepala Staf Gabungan militer AS menilai "bahwa Israel secara militer tidak akan dapat ditandingi, oleh kombinasi negara-negara Arab setidaknya selama lima tahun ke depan."

Dalam sebuah laporan tentang tentara Israel pada Januari 1967, atase pertahanan Inggris di Tel Aviv menilai bahwa "dalam komando, pelatihan, peralatan, dan layanan, tentara Israel lebih siap untuk perang daripada sebelumnya. Terlatih dengan baik, tangguh, mandiri , tentara Israel memiliki semangat juang yang kuat dan akan rela berperang untuk mempertahankan negaranya."

Perang perbatasan memicu ketegangan. Gerilyawan Palestina menerobos pagar perbatasan. Israel mengutuk mereka sebagai teroris. Israel percaya bahwa untuk mencegah dan menghukum aksi itu, Israel harus membalas dengan keras.

Baca juga: Warga Palestina Digusur dari Yerusalem, Jalur Gaza Luncurkan 3 Roket ke Israel

Akhirnya pada November 1966, serangan besar Israel ke Tepi Barat yang diduduki Yordania yang menargetkan desa Samua dilakukan. Ini merupakan tanggapan atas serangan ranjau darat di dalam Israel.

Serangan itu menyebabkan keributan di antara warga Palestina di Tepi Barat. Dari pihak Yordania, Hussein tercengang.

Dia mengatakan kepada Badan Intelijen Pusat AS (CIA) bahwa selama tiga tahun dia telah melakukan pembicaraan rahasia dengan Israel; kontaknya di Israel telah mengirimkan jaminan bahwa tidak akan ada pembalasan pada pagi hari penyerbuan itu.

Orang Amerika bersimpati. Mereka mendukung resolusi di Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan Samua.

Hussein memberlakukan darurat militer di Tepi Barat dan menjadi lebih yakin dari sebelumnya bahwa takhtanya dalam bahaya. Pasalnya orang-orang Palestina yang marah bisa saja bisa berusaha menggulingkannya.

Dia takut kudeta oleh perwira radikal pro-Nasser di tentara yang bisa digunakan Israel sebagai dalih untuk melahap Tepi Barat dan Yerusalem Timur juga.

Raja Yordania itu tidak ingin berbagi nasib dengan raja Hasyem lainnya di Timur Tengah, sepupu dan temannya Raja Faisal dari Irak. Dia ditembak di halaman istananya dalam kudeta militer pada 1958.

Pawai perang berlanjut dengan meningkatnya masalah di perbatasan Israel-Suriah. Tidak seperti Hussein, yang diyakini Amerika melakukan semua yang dia bisa untuk menghentikan infiltrasi Palestina, Suriah secara aktif mendorong agenda itu.

Israel mendorong klaimnya atas wilayah sengketa di daerah perbatasan secara agresif, dengan mengolah ladang di daerah demiliterisasi dengan traktor lapis baja.

Pertempuran itu memuncak dengan pertempuran udara dan artileri skala penuh antara Israel dan Suriah pada 7 April 1967. Sampai akhirnya Israel mengalahkan Suriah.

Keesokan paginya pemuda Palestina di Yerusalem, menurut diplomat Inggris, menunjukkan "kekaguman dan terpesona pada kompetensi Israel dan ketidakberdayaan Arab di hadapannya."

Mereka lalu bertanya "di mana orang Mesir?" Tekanan tumbuh di Nasser untuk menambahkan tindakan dalam sesumbar kemenangannya atas terusan Suez sulu.

Israel menikmati suasana hati nasional yang mengucapkan selamat. Tetapi beberapa negarawan dan tentara yang lebih tua merasa khawatir.

Di sebuah koridor di parlemen Israel (Knesset), mantan kepala staf militer Moshe Dayan bertemu dengan Jenderal Ezer Weizmann, mantan kepala angkatan udara dan sekarang Rabin nomor dua. "Apakah kamu sudah gila?" Kata Dayan. "Anda memimpin negara untuk berperang!"

Baca juga: Israel dan Korea Selatan Bakal Jalin Perdagangan Bebas

Suriah, dan gerilyawan Palestina yang mendapat sponsor, berusaha lebih keras untuk memprovokasi Israel, dan usahanya terus meningkat.

Bagi Suriah dan Mesir, serta Inggris dan AS, Israel tampaknya sedang merencanakan langkah yang lebih besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com