Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masjid Al-Aqsa, Titik Pertikaian Panjang Palestina-Israel

Kompas.com - 08/05/2021, 09:12 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

Sumber Al Jazeera

JERUSALEM, KOMPAS.com - Masjid Al-Aqsa adalah situs suci penting, yang terletak di Kota Tua Yerusalem, luas kompleksnya mencapai 35 hektar.

Awalnya, bangunan ini dibangun sebagai rumah doa kecil. Tetapi pada 705 dibangun kembali dan dibuat lebih besar oleh khalifah Umayyah Abd al-Malik dan putranya al-Walid.

Baca juga: Warga Palestina Bentrok dengan Polisi Israel di Masjid Al-Aqsa, 136 Orang Terluka

Gempa bumi benar-benar menghancurkan masjid pada 746 dan lagi pada 1033, dan setiap kali masjid dibangun kembali.

Berbagai dinasti yang berkuasa di Kekhalifahan Islam membangun tambahan pada masjid dan area sekitarnya, termasuk kubah, mimbar, menara masjid, dan bagian dalam masjid yang terkenal.

Selama Perang Salib, Yerusalem direbut pada 1099 dan Masjid Al-Aqsa digunakan sebagai unit istana. Lalu direbut kembali oleh Saladin, sultan pertama Mesir dan Suriah, pada 1187.

Masjid tersebut terus mengalami renovasi dan penambahan atas perintah pemerintah dinasti Ayyubiyah (Muslim-Kurdi), Mamluk Sultanate (mencakup Mesir, Levant dan Hijaz), kekaisaran Ottoman, Dewan Muslim Tertinggi, dan Yordania.

Berikut adalah rincian mengapa kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem menjadi titik pertikaian yang konstan dalam konflik Palestina-Israel.

Baca juga: Di Tengah Bulan Ramadhan, Bentrokan Israel dan Palestina Terus Berkobar di Yerusalem

1. Mengapa Al-Aqsa begitu penting

Oleh umat Muslim tempat itu disebut sebagai al-Haram al-Sharif, atau Tempat Suci, dan sebagai Temple Mount oleh orang Yahudi.

Kompleks ini terletak di Kota Tua Yerusalem, yang telah ditetapkan sebagai situs Warisan Dunia oleh badan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO, dan penting bagi tiga agama Abrahamik.

Situs tersebut telah menjadi bagian wilayah yang paling diperebutkan di Tanah Suci, sejak Israel menduduki Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, pada 1967, bersama dengan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Namun, konflik tersebut dimulai lebih jauh, sebelum adanya negara Israel.

Pada 1947, PBB membuat rencana partisi. Tujuannya untuk memisahkan sejarah Palestina, yang kemudian di bawah kendali Inggris, menjadi dua negara.

Satu untuk orang Yahudi, terutama dari Eropa, dan satu untuk Palestina. Negara Yahudi diberi 55 persen tanah, dan 45 persen sisanya untuk negara Palestina.

Yerusalem, yang menampung kompleks Al-Aqsa, merupakan milik komunitas internasional di bawah administrasi PBB. Situs itu diberikan status khusus karena nilai pentingnya bagi tiga agama.

Baca juga: Yahudi Sayap Kanan dan Arab Bentrok di Yerusalem, Ratusan Luka-luka

Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948 setelah Israel mendeklarasikan kenegaraan, menguasai sekitar 78 persen tanah. Sementara sisanya wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza berada di bawah kendali Mesir dan Yordania.

Perambahan Israel di atas tanah tersebut semakin intensif pada 1967. Setelah perang Arab-Israel kedua, Israel menduduki Yerusalem Timur, dan akhirnya secara ilegal mencaplok Yerusalem, termasuk Kota Tua dan Al-Aqsa.

Kontrol ilegal Israel atas Yerusalem Timur, termasuk Kota Tua, melanggar beberapa prinsip hukum internasional. Pasalnya ditentukan bahwa kekuatan pendudukan tidak memiliki kedaulatan di wilayah yang didudukinya.

Selama bertahun-tahun, pemerintah Israel mengambil langkah lebih lanjut untuk mengendalikan Kota Tua dan Yerusalem Timur secara keseluruhan.

Pada 1980, Israel mengeluarkan undang-undang yang menyatakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang "lengkap dan bersatu." Hal ini semula dinilai melanggar hukum internasional. 

Tidak ada negara di dunia yang mengakui kepemilikan Israel atas Yerusalem atau upayanya untuk mengubah susunan geografi dan demografis kota, sampai perubahan dilakukan oleh Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump pada 2018.

Warga Palestina di Yerusalem, yang berjumlah sekitar 400.000, hanya memiliki status kependudukan permanen. Meski lahir di sana, mereka tidak memiliki status kewarganegaraan di sana, berbeda dengan orang Yahudi yang lahir di kota tersebut.

Dan, sejak 1967, Israel memulai deportasi diam-diam atas warga Palestina. Caranya dengan, memberlakukan persyaratan sulit bagi mereka untuk mempertahankan status tempat tinggal di kota itu.

Halaman:
Sumber Al Jazeera


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com