Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Sukses Rwanda sebagai Negara Termiskin di Dunia dalam Tangani Covid-19

Kompas.com - 20/04/2021, 14:29 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

Sumber ABC

KIGALI, KOMPAS.com - Sabin Nsanzimana tidak akan pernah lupa malam itu, pada 13 Maret 2020, saat kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi di Rwanda, negara termiskin di dunia.

"Tim saya menghubungi untuk mengecek dan memastikan kasus pertama itu," katanya.

Sabin, dokter sekaligus epidemiolog ini adalah Dirjen Pusat Biomedis Rwanda, yang memimpin penanganan Covid-19 di Rwanda.

Baca juga: Kasus Covid-19 Meningkat, Ibu Kota India Kembali Lockdown

"Meskipun kami pernah mengetes wabah lain, seperti virus Ebola di laboratorium kami, virus corona ini berbeda karena kepanikan yang ditimbulkannya di seluruh dunia," kata Dr Sabin seperti yang dilansir dari ABC Indonesia pada Kamis (15/4/2021).

"Kami harus mengetes sampel tersebut sampai 3 kali hanya untuk benar-benar memastikan hasilnya."

Namun karena satu kasus itu, negara yang ada di Afika tengah ini memutuskan untuk lockdown.

Kesuksesan penanganan Covid-19 di Afrika

Secara internasional, Rwanda termasuk di antara negara-negara Afrika, yang terkenal dengan kisah sukses dalam penanganan Covid-19.

Rwanda mencatat 314 kematian dalam penghitungan terakhir.

Pada Desember lalu, jumlahnya sebenarnya hanya sepertiga dari angka tersebut, tetapi musim liburan telah membuat angka kasus naik dengan cepat.

Bandingkan dengan lebih dari setengah juta kematian di Amerika Serikat, yang juga hampir semua aspek pandemi Covid-19 telah dipolitisasi, mulai dari pemakaian masker sampai penanganan lockdown.

Mengapa Rwanda, salah satu negara termiskin di dunia, yang memiliki sejarah genosida yang brutal, berhasil menangani Covid-19, sementara negara-negara yang kaya, seperti Amerika Serikat bahkan gagal menyelamatkan nyawa atau memicu teori konspirasi virus corona?

"Pengertian demokrasi Barat telah gagal total dan Covid-19 adalah buktinya," kata Agnes Binagwaho, mantan menteri kesehatan Rwanda.

"Negara-negara di mana ada orang yang mengatakan tidak perlu menggunakan masker, itu adalah kebohongan. Mereka tahu itu, sains telah membuktikannya, tetapi mereka tetap mengatakannya karena kepentingan politik mereka, untuk egoisme mereka."

"Politik adalah senjata pembunuhnya. Demokrasi harus berpusat pada rakyat, bukan egosentris," terangnya. 

Kesehatan yang utama, ekonomi akan mengikuti

Tahun lalu, setiap orang Rwanda yang didiagnosis positif Covid-19 dibawa ke pusat perawatan untuk pemantauan.

"Langkah tersebut telah membantu menjaga jumlah kematian ada pada tingkat yang terendah," kata Dr Sabin.

Ia juga mengatakan hanya ada dua orang petugas kesehatan yang terinfeksi di Rwanda.

Pengerahan delapan robot juga memainkan peran kecil dalam upaya Rwanda untuk mengendalikan virus dan melindungi petugas kesehatan.

Robot-robot ini membantu mengukur tanda-tanda vital dari pasien yang terinfeksi, menghidangkan makanan kepada mereka, dan membersihkan rumah sakit.

"Kami masih memiliki robot-robot ini di bandara untuk mengecek temperatur mereka dan memindai apakah orang-orang memakai masker."

Baca juga: Melihat Kegiatan Ramadhan di Amerika, dari Tadarus Virtual hingga Vaksinasi Covid-19

Sistem kesehatan yang dihancurkan genosida

Dr Sabin mengatakan kepercayaan masyarakat pada saran dari pihak berwenang dan ilmuwan telah menjadi faktor penting dalam mengekang virus corona.

"Kepercayaan sangatlah penting, dan Anda tidak dapat membangun kepercayaan di tengah pandemi Covid-19."

Namun, Rwanda pernah menjadi negara yang kepercayaan benar-benar hancur.

Pada 1994, genosida Rwanda menyebabkan ketegangan yang meningkat antara suku mayoritas Hutu dan populasi minoritas Tutsi. Hutu menghadapi Tutsi dengan parang.

Menurut PBB, ada 1 juta orang dibantai hanya dalam 100 hari.

Banyak korban selamat yang masih memiliki bekas luka parang di leher mereka.

Mantan pemimpin Front Patriotik Rwanda, Paul Kagame, telah menjadi Presiden Rwanda sejak 2000. Ia menjabat sebagai wakil presiden setelah genosida.

Paul juga dipuji karena membawa stabilitas ke negara itu dan untuk sejumlah catatan pembangunan.

Namun, beberapa pihak menggambarkan Paul sebagai "diktator yang baik hati" dan prihatin pada penindasan serius terhadap perbedaan pandangan dan pendapat.

Halaman:
Baca tentang
Sumber ABC
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com