Sesaat sebelum pernikahan mereka, Pangeran Philip menulis surat kepada Ibu Suri bahwa dia telah "jatuh cinta sepenuhnya dan tanpa syarat" kepada putrinya.
Pasangan itu menikah dihadapan 2.000 tamu di Westminster Abbey. Momen itu digelar hanya berjarak 2 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II dan negara masish belum pulih sepenuhnya dari konflik.
Sehingga, pernikahan mereka adalah momen perayaan langka. Winston Chrushill menyebutnya "kabar bahagia di tengah jalan sulit yang kami lalui".
Tahun berikutnya, putra tertua mereka Charles lahir, kemudian putri mereka Anne.
Baca juga: Pangeran Philip Dimakamkan pada 17 April, Ini Rencana Prosesinya
Pada tahun-tahun awal pernikahan, mereka tinggal di Malta. Saat itu, Pangeran Philip bertugas di HMS Checkers dengan karier di Angkatan Laut yang berkembang pesat.
Mereka dapat menjalani kehidupan yang relatif normal, menikmati hidup dalam iklim hangat, jauh dari istana dan tugas kerajaan.
Semua itu berubah pada 6 Februari 1952 dengan kematian dini Raja George VI. Ratu Elizabeth saat itu baru berusia 25 tahun dan Pangeran Philip berusia 30 tahun.
Mereka selalu tahu sang putri ditakdirkan untuk menjadi Ratu, tetapi berharap waktu itu datang beberapa tahun lagi, untuk sementara dapat menjalani hidup mereka sendiri.
Bagi Duke of Edinburgh, aksesi itu artinya ia harus melepas ambisi karier apa pun yang ia miliki terhadap Angkatan Laut Kerajaan.
Bagi seorang pria yang biasa menjadi komandan kapal, tiba-tiba diturunkan ke peran pendukung tidaklah mudah.
Selain itu, perlu diingat bahwa pada 1950-an, budaya patriarki masih sangat jarang seorang suami dikalahkan oleh istrinya.
Bagi Ratu, yang juga seorang ibu muda, ada aturan peran yang harus dia penuhi sejak lahir yang harus didahulukan.
Baca juga: Meghan Markle Tak Akan Hadiri Pemakaman Pangeran Philip, Ini Alasannya
Kisah cinta Duke of Edinburgh dan Ratu Elizabeth II dapat awet, mungkin salah satunya karena kemampuan mereka dalam bertukar posisi, yang dilakukan tanpa mengeksposnya ke publik.
Namun, bukan tanpa kendala. Semasa hidupnya, diceritakan bahwa Pangeran Philip terkadang mempertanyakan perannya sendiri sebagai permaisuri istrinya. Ia seringkali melawan sikap para bangsawan.
Pada 1956, dia menghabiskan 4 bulan berkeliling ke negara Persemakmuran Inggris, yang sempat membuat beberapa orang mempertanyakan komitmennya kepada ratu.