Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KISAH MISTERI] Kuburan Kapal Tanjung Harapan, Jalur Alternatif Berbahaya dari Terusan Suez

Kompas.com - 01/04/2021, 18:08 WIB
Bernadette Aderi Puspaningrum

Penulis

KOMPAS.com - Setelah Terusan Suez dibuka lagi pada Senin (29/3/2021), sejumlah kapal sudah memilih rencana B.

Mereka khawatir dengan risiko penundaan yang bisa berlarut-larut, setelah jalur tak kunjung terbuka berhari-hari. Sedangkan ongkos penundaan diperkirakan bisa mencapai 400 juta dollar AS (Rp 5,8 triliun) per jam secara kolektif.

Beberapa kapal kontainer kemudian memilih rute panjang mengelilingi Afrika Selatan (Cape of Good Hope). Jalur alternatif terusan suez ini menambah setidaknya 10 hari dan ribuan mil perjalanan, tergantung pada tujuan kapal.

Rute selatan juga jauh lebih berbahaya. Kapal dihadapkan dengan angin kencang, rute berbatu, dan lalu lintas pengiriman yang padat.

Sepanjang sejarah Tanjung Harapan tercatat sebagai salah satu kuburan kapal paling berbahaya di dunia.

"Selama ratusan tahun, Tanjung Harapan telah menjadi hotspot kecelakaan pengiriman laut," kata Bruno Werz, seorang arkeolog maritim dan kepala Institut Afrika untuk Penelitian Kelautan dan Bawah Air yang berbasis di Cape Town kapada National Geographic.

Menurutnya, jelas lebih berbahaya melalui jalur alternatif ini. Jadi, jika kapal memilih rute tersebut dari pada menunggu, maka risikonya sudah benar-benar diperhitungkan.

Baca juga: Terusan Suez Masih Tertutup, Adakah Rute Alternatifnya?

Werz dan peneliti lain telah melakukan studi ekstensif tentang kecelakaan laut di perairan Afrika Selatan. Dia memperkirakan setidaknya ada 2.000 bangkai kapal di perairan Afrika Selatan.

Artinya, rata-rata ada satu bangkai kapal untuk setiap kilometer garis pantai. Banyak di antara kapal yang karam merupakan peninggalan dari era eksplorasi Eropa, dan pelayaran naas untuk mencapai India dan Asia.

Salah satu yang paling awal tercatat, dikenal sebagai bangkai kapal Soares. Kapal ini adalah yang pertama dari ratusan kapal Portugis pada abad ke-16. Dikabarkan, kapal ini karam di bebatuan Afrika Selatan, saat melakukan perjalanan bolak-balik dari Atlantik dan ke koloni timur.

Satu lagi yang masih dipelajari hingga hari ini adalah Haarlem. Kapal ini hancur di Table Bay Afrika Selatan pada 1647. Tempat yang didirikan oleh para penyintasnya kini menjadi cikal bakal kota modern Cape Town di Afrika Selatan.

Pantai Afrika dan Tanjung Harapan dilukis oleh Jacopo Russo, Arsip Alinari.JACOPO RUSSO via NATIONAL GEOGRAPHIC Pantai Afrika dan Tanjung Harapan dilukis oleh Jacopo Russo, Arsip Alinari.

Tanjung Badai

Nama wilayah tersebut diyakini berasal dari sejarah kondisi hukum alamnya.

Pada 1488, penjelajah Portugis, Bartolomeu Dias, berusaha mencapai India dalam sebuah perjalanan yang membawanya mengitari titik selatan Afrika.

Menurut cerita di mana mitos dan fakta menjadi tidak terpisahkan, ketika Dias kembali ke Portugal untuk melapor kepada Raja John II. 

Karena angin yang begitu kuat di wilayah itu, Dias awalnya menyebut lokasi ini Cabo das Tormentas, atau Tanjung Badai.

Baca juga: Jika Terpaksa Memutar Hindari Terusan Suez, Ini Risiko yang Mengintai Kapal

Raja John, yang tidak pernah naik kapal Dias, sangat gembira dengan temuan sang penjelajah.

Jadi atas perintahnya lokasi ini kemudian disebut Tanjung Harapan. Karena menurutnya, temuan ini menawarkan prospek penuh harapan untuk menjangkau pasar di India.

Meski demikian, ribuan kapten kapal diyakini akan berpihak pada nama yang dia pilih Dias.

Di era modern, statistik menunjukkan jumlah kapal tenggelam di sekitar tanjung, lebih tinggi daripada di banyak bentangan samudra terbuka.

Pada 1911, setahun sebelum Titanic tenggelam di Atlantik, kapal penumpang SS Lusitania mengira mercusuar Cape Town sebagai titik paling selatan benua. Kapal pun berbelok terlalu curam, dan menghantam daratan.

Pada tahun-tahun sebelumnya, lusinan kapal lain juga salah membaca pantai. Rentetan kecelakaan itu akhirnya membuat mercusuar dipindahkan lebih jauh ke selatan.

Pada 1942, pasukan Amerika SS Thomas Tucker kandas di Cape Point selama pelayaran perdananya. Kapal terdampar di darat di daerah yang sekarang dikenal sebagai Shipwreck Trail.

Baca juga: Ada Kekuatan Alam Berperan dalam Pembebasan Kapal Ever Given dari Terusan Suez

The Roaring Forties

Cuaca ganas di sekitar semenanjung Cape berasal dari aliran udara selatan, yang berembus mengelilingi seluruh lingkar bumi mulai dari garis lintang selatan 40 derajat.

Tanpa halangan oleh hampir semua daratan sejauh ini di selatan, angin memberi wilayah itu julukan berabad-abad sebagai "Roaring Forties".

Kondisinya menjadi lebih buruk saat kapal pergi lebih jauh ke selatan menuju "Furious Fifties"(garis lintang selatan 50 derajat) dan "Screaming Sixties" (garis lintang selatan 50 derajat).

Sepanjang sejarah, angin telah menjadi anugerah atau beban bagi para pelaut tergantung ke arah mana mereka pergi.

Angin kencang dapat mendorong kapal ke arah timur melintasi Pasifik, dengan kecepatan sangat tinggi. Tapi sebaliknya tanpa bantuan angin kapal bisa memakan waktu berminggu-minggu, terkadang berbulan-bulan melalui jalur itu. .

Dan setelah perjalanan panjang di lautan terbuka, tipe daratan seperti Cape of Good Hope, dapat membuat angin berperilaku tidak menentu. Jika begitu, kapal bisa terdorong dengan cepat keluar dari jalur.

Baca juga: Kutukan Firaun Dikaitkan dengan Insiden Terusan Suez hingga Gedung Ambruk di Mesir

Kapal kontainer modern

Kapal yang tenggelam di sekitar Tanjung Harapan sekarang sudah lebih sedikit dibanding di abad yang lalu.

Selesainya Terusan Suez pada 1869, menawarkan rute pelayaran yang lebih aman, lebih pendek, dan lebih murah untuk kapal-kapal terbesar di dunia atau yang membawa kargo paling berharga.

Tapi secara umum, risiko yang diambil kapal saat ini juga akan jauh lebih sedikit, meski harus melewati rute berbahaya seperti Tanjung Harapan.

Kapal masa kini sudah banyak dipersenjatai dengan beragam alat bantu pendukung navigasi. Mulai dari navigasi GPS, prakiraan cuaca, hingga jangkar otomatis.

Beberapa kapal bahkan memiliki sistem yang dikenal sebagai pemosisian dinamis. Perangkat ini menggunakan motor tersinkronisasi supaya kapal tidak mudah terjungkal.

Baca juga: Pengalaman Terusan Suez Macet Dimanfaatkan Rusia untuk Tawarkan Rute Laut Utara

Walau begitu risiko bukan berarti hilang sama sekali. Bangkai kapal baru di masa kini beberapa terjadi karena kesalahan manusia, atau cuaca yang tidak terduga.

Pada 2003, sebuah kapal kargo bernama Sealand Express membawa 33 kontainer. Kapal kargo itu kandas di gumuk pasir dekat Cape Town setelah menyeret jangkarnya dalam angin kencang, sebuah insiden yang dituduhkan pada kru yang lambat bereaksi.

Kecelakaan itu terjadi pada Agustus menjelang akhir musim dingin di Belahan Bumi Selatan, yang membawa angin sangat kencang. Musim angin dimulai pada Maret.

Padahal ukurannya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan muatan kapal Ever Given yang tersangkut di Terusan Suez. Kapal raksasa itu dapat membawa lebih dari 10.000 kontainer.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com