Sebagai pewaris Than Shwe dan setia pada visi militer yang sangat kuat, Min Aung Hlaing bernegosiasi dengan Suu Kyi, memetakan arah transisi demokrasi Myanmar.
Namun, sang panglima militer ini bermain di kedua sisi. Satu sisi dia "sangat berhati-hati dalam berurusan dengan kepala pemerintahan, sebisa mungkin menghindari konfrontasi terbuka", kata Kipgen.
Di sisi lainnya, dia juga melakukan segala kemungkinan untuk menunjukkan bahwa tentara tetap menjadi penguasa sebenarnya dari permainan politik.
"Dia sangat pandai menumbuhkan citra kenegarawanan, memperhatikan hingga detail terkecil," kata Min Zin, direktur Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar, sebuah wadah pemikir di Yangon, dalam sebuah wawancara dengan New York Times.
Untuk komunitas internasional, Min Aung Hlaing dianggap di atas segalanya, sebagai orang di balik penganiayaan terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara itu mulai 2016.
"Bahkan jika dia tidak terlibat langsung dan secara pribadi, secara militer, sebagai panglima tentara, dia menyetujui kampanye ini," kata Kipgen.
Sementara beberapa negara telah mengadopsi istilah "genosida" untuk menggambarkan pelanggaran militer terhadap Rohingya, Min Aung Hlaing secara terbuka membela tindakan militer tersebut di Facebook dan Twitter.
Panglima militer hanya menggunakan istilah "Bengali" untuk merujuk pada Rohingya, yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang asing yang tidak memiliki urusan di tanah Burma.
Dia juga membenarkan tindakan tentara dengan berulang kali menyatakan bahwa "daerah kita harus dikuasai oleh ras nasional".
Baca juga: [Biografi Tokoh Dunia] Sun Jihai, Mantan Bek Man City Jadi Taipan China Setelah Gantung Sepatu
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.