Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan India: Upaya Menentang UU Kewarganegaraan Kontroversial yang Tewaskan 42 Orang

Kompas.com - 02/03/2020, 07:00 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber Reuters,BBC

NEW DELHI, KOMPAS.com - Pekan lalu, momen pahit terjadi di India, di mana kerusuhan berlangsung di ibu kota New Delhi dan menewaskan hingga 42 orang.

Bentrokan itu terjadi pada Minggu (23/2/2020), dan mengalami eskalasi ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berkunjung selama dua hari.

Para korban tewas kerusuhan India tidak hanya terjadi dari kalangan warga sipil, tetapi juga polisi yang tengah menjaga keamanan.

Baca juga: Kerusuhan India Mereda, Korban Tewas Capai 42 Orang

Ketegangan itu dipicu UU Kewarganegaraan kontroversial, Citizenship Amendment Act (CAA) yang disahkan oleh pemerintah pada 2019.

1. Apa itu UU Kewarganegaraan baru atau Citizenship Amendment Act?

Dilansir BBC, CAA atau juga dikenal sebagai Citizenship Amendment Bill (CAB) merupakan amendemen UU Kewarganegaraan lama India berusia 64 tahun.

Pada dasarnya, undang-undang tersebut mendefinisikan migran ilegal adalah mereka yang memasuki India tanpa dokumen resmi, atau tinggal lebih dari masa berlaku visa.

Seorang migran harus tinggal di India, atau bekerja bagi negara selama 11 tahun sebelum mereka bisa mengajukan proses menjadi warga negara.

Namun, dalam CAA, terkandung pengecualian bagi mereka yang berasal dari enam komunitas keagamaan minoritas, yakni Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen.

Mereka bisa mengajukan izin tinggal jika mereka bisa membuktikan diri berasal dari negara seperti Pakistan, Afghanistan, serta Bangladesh.

Mereka diharuskan untuk tinggal dan bekerja di Negeri "Bollywood" selama enam tahun sebelum bisa dinaturalisasi sebagai warga negara.

Baca juga: Anggota Komisi I Minta Pemerintah Bawa Kasus Kerusuhan di India ke PBB

2. Mengapa aturan ini begitu kontroversial?

Kelompok kontra menyatakan, UU Kewarganegaraan yang diamendemen ini dianggap eksklusif dan melanggar prinsip sekularitas yang dilindungi konstitusi.

Konstitusi India dengan tegas melarang adanya diskriminasi agama, dan menganggap semua warga adalah sama di mata hukum.

Pengacara asal New Delhi, Gautam Bhatia, mengatakan UU tersebut jelas membagi warga negara menjadi Muslim dan non-Muslim.

Dia menuding UU itu secara eksplisit dan terang-terangan berusaha untuk memperkuat upaya adanya diskriminasi agama di sana.

Baca juga: Maruf Amin Prihatin Konflik Antar-umat Beragama di India

Sejarawan Mukul Kesavan menuturkan, bahasa UU itu mungkin memang diajukan bagi warga asing. Namun sebenarnya untuk mendelegitimasi kewarganegaraan Muslim.

Kritik yang berembus menyatakan, jika memang ingin melindungi minoritas, UU tersebut seharusnya menyertakan Muslim yang dipersekusi di negaranya sendiri.

Seperti misalnya kaum Ahmadiyah di Pakistan serta Rohingya di Myanmar. Kritik itu membuat politisi partai penguasa, Bharatiya Janata Party (BJP) angkat bicara.

Politisi senior BJP Ram Madhav menyatakan UU tersebut ditujukan untuk menangkal India dari migran ilegal yang hendak masuk.

Baca juga: Anggota Komisi I DPR Minta Pemerintah Ambil Langkah Strategis Terkait Kerusuhan di India

3. Kengerian selama tiga hari

Sejak Minggu, massa yang merupakan pendukung maupun penentang UU Kewarganegaraan yang kontroversial saling serang, dengan polisi juga menjadi korban.

Kerusuhan pertama terjadi pada Minggu, di mana massa pendukung dan kontra terlibat kerusuhan di sebelah timur ibu kota Delhi.

Ketegangan terjadi di tiga area yang mayoritas ditinggali Muslim. Awalnya kelompok pendukung memprotes blokade dari massa penentang.

Tak lama kemudian, aksi pelemparan batu terjadi. Sejak saat itu, setiap kelompok mengambil posisi secara komunal, dengan adanya laporan warga Muslim diserang.

Kerusuhan Delhi semakin intens ketika Trump berkunjung selama dua hari, dari 24 hingga 26 Februari, di mana dia sempat memberikan pidato di Motera Stadium.

Baca juga: Menteri Agama Prihatin atas Kekerasan di India

Setelah bentrokan yang terjadi selama tiga hari berturut-turut, suasana agak reda dilaporkan pada Rabu (26/2/2020). Namun, Delhi masih diliputi kecemasan.

Pasalnya, kerusuhan ini bukan lagi tentang UU Kewarganegaraan. Namun berubah menjadi sektarian, di mana orang diserang berdasarkan agama mereka.

Ada laporan sekelompok pria dengan tongkat, batang besi dan batu berkeliaran di jalan-jalan dan orang-orang Hindu dan Muslim saling berhadapan.

Seperti yang dialami Mohammad Zubair. Seorang pria berusia 37 tahun yang dipukuli ketika dalam perjalanan pulang dari masjid.

Dia menuturkan diserang oleh sekelompok orang tersebut setelah mereka melihatnya mengenakan peci, jenggot, maupun pakaian gamis.

"Mereka langsung menyerang, meneriakkan slogan-slogannya. Kemanusiaan macam apa ini?" ungkap Zubair, yang menuturkan dalam hitungan detik dia langsung dipukuli.

Baca juga: Kerusuhan India: Kisah Pria yang Dipukuli karena Berjenggot dan Pakai Gamis

4. Aparat yang disorot tajam

Juru bicara kepolisian, MS Randhawa, menyatakan bahwa pihaknya sudah mengerahkan anggota dibantu pasukan paramiliter untuk memadamkan situasi.

Namun sorotan dilayangkan, di mana aparat berwenang dianggap tidak siap dan kalah jumlah dengan massa. Puluhan di antara mereka terluka, bahkan ada yang terbunuh.

Selain itu, tindakan aparat yang melakukan kekerasan dianggap pakar hukum merupakan hasil dari cuci otak yang berlangsung sejak masa kolonial.

Agitasi hukum pada masa kolonial yang dimaksud adalah salinan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Inggris pada 1870. Pasal 124 A tentang Hukum Pidana India.

Bagaimana India menggunakan hukum hasutan (agitasi) era kolonial melawan pengunjuk rasa CAA ternyata ditujukan untuk meredam perbedaan pendapat.

Baca juga: Tindak Kekerasan Aparat India, Hasil Cuci Otak Pemerintah Sejak Kolonial

5. Pahlawan di tengah kerusuhan India

Seorang polisi India dinobatkan sebagai pahlawan karena berani melewati batas negara bagian tanpa izin demi menyelamatkan warga yang terdampak kerusuhan.

Polisi bernama Neeraj Jadaun tersebut memutuskan bergerak setelah mendengar suara tembakan sekitar 200 meter dari posnya bertugas.

Seketika dia memutuskan untuk menyeberangi perbatasan Negara Bagian Delhi, dan menyelamatkan warga yang terdampak kerusuhan.

"Saya bukan pahlawan. Saya telah bersumpah untuk melindungi orang India yang dalam bahaya. Saya hanya melakukan tugas karena tidak mau membiarkan orang mati dalam pengawasan saya," lanjutnya.

Kemudian pasangan Hindu bernama Savitri Prasad dan Gulshan tetap melangsungkan pernikahan dengan perlindungan dari tetangga mereka yang Muslim.

Ritual pernikahan dilangsungkan di rumah Savitri. Sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu bata dan berada di gang sempit distrik Chand Bagh.

"Saudara kami yang beragama Islam telah melindungi kami hari ini," ujar perempuan berusia 23 tahun tersebut kepada Reuters.

Baca juga: Kerusuhan India: Pernikahan Pengantin Hindu Dilindungi Tetangga Muslimnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Reuters,BBC
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com