NEW DELHI, KOMPAS.com - Pekan lalu, momen pahit terjadi di India, di mana kerusuhan berlangsung di ibu kota New Delhi dan menewaskan hingga 42 orang.
Bentrokan itu terjadi pada Minggu (23/2/2020), dan mengalami eskalasi ketika Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berkunjung selama dua hari.
Para korban tewas kerusuhan India tidak hanya terjadi dari kalangan warga sipil, tetapi juga polisi yang tengah menjaga keamanan.
Baca juga: Kerusuhan India Mereda, Korban Tewas Capai 42 Orang
Ketegangan itu dipicu UU Kewarganegaraan kontroversial, Citizenship Amendment Act (CAA) yang disahkan oleh pemerintah pada 2019.
Dilansir BBC, CAA atau juga dikenal sebagai Citizenship Amendment Bill (CAB) merupakan amendemen UU Kewarganegaraan lama India berusia 64 tahun.
Pada dasarnya, undang-undang tersebut mendefinisikan migran ilegal adalah mereka yang memasuki India tanpa dokumen resmi, atau tinggal lebih dari masa berlaku visa.
Seorang migran harus tinggal di India, atau bekerja bagi negara selama 11 tahun sebelum mereka bisa mengajukan proses menjadi warga negara.
Namun, dalam CAA, terkandung pengecualian bagi mereka yang berasal dari enam komunitas keagamaan minoritas, yakni Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen.
Mereka bisa mengajukan izin tinggal jika mereka bisa membuktikan diri berasal dari negara seperti Pakistan, Afghanistan, serta Bangladesh.
Mereka diharuskan untuk tinggal dan bekerja di Negeri "Bollywood" selama enam tahun sebelum bisa dinaturalisasi sebagai warga negara.
Baca juga: Anggota Komisi I Minta Pemerintah Bawa Kasus Kerusuhan di India ke PBB
Kelompok kontra menyatakan, UU Kewarganegaraan yang diamendemen ini dianggap eksklusif dan melanggar prinsip sekularitas yang dilindungi konstitusi.
Konstitusi India dengan tegas melarang adanya diskriminasi agama, dan menganggap semua warga adalah sama di mata hukum.
Pengacara asal New Delhi, Gautam Bhatia, mengatakan UU tersebut jelas membagi warga negara menjadi Muslim dan non-Muslim.
Dia menuding UU itu secara eksplisit dan terang-terangan berusaha untuk memperkuat upaya adanya diskriminasi agama di sana.
Baca juga: Maruf Amin Prihatin Konflik Antar-umat Beragama di India
Sejarawan Mukul Kesavan menuturkan, bahasa UU itu mungkin memang diajukan bagi warga asing. Namun sebenarnya untuk mendelegitimasi kewarganegaraan Muslim.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.