Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tantangan Dokter yang Rawat Pasien Virus Corona: Kelelahan hingga Pakai Popok

Kompas.com - 12/02/2020, 16:16 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber AFP

BEIJING, KOMPAS.com - Dokter di garda terdepan dalam merawat pasien virus corona mendapatkan tantangan yang sangat serius: kelelahan hingga ancaman penularan,

Kecapekan dan kekurangan staf, para pekerja medis harus berhadapan dengan ribuan kasus baru per pekan di Wuhan, kota asal penyebaran virus.

Kebanyakan dokter memeriksa pasien tanpa peralatan layak, atau terpaksa terus memakai perlengkapan yang sama di saat mereka harus menggantinya.

Baca juga: Cerita Dokter di Wuhan, Kota Pusat Virus Corona: Disiksa hingga 2 Minggu Tak Pulang

Bahkan, di antara mereka ada yang mengenakan popok untuk menghindari terbuangnya banyak waktu akibat harus melepaskan pakaian pelindung saat ke toilet.

Salah satu dokter di klinik umum Wuhan mengungkapkan, dia dan 16 koleganya sudah menunjukkan gejala virus dengan nama resmi Covid-19 itu.

Di antara gejala yang ditimbulkan karena virus corona antara lain adalah adanya infeksi paru-paru, serta batuk terus menerus.

"Sebagai dokter, tentunya kami tidak ingin bekerja sementara kamilah sumber virus itu," kata dokter yang tidak ingin identitasnya diketahui itu dilansir AFP Rabu (12/2/2020).

Namun, dia mengatakan bahwa saat ini, tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Tim medis yang tidak mengalami demam diminta untuk terus bekerja.

Baca juga: Hibur Pasien Virus Corona Covid-19, Staf Rumah Sakit di Wuhan Ajak Menari

Lebih dari 1.100 orang meninggal dan 42.600 lainnya terinfeksi, dengan sebagian besar kasus terjadi di Wuhan maupun kota lain di wilayah Provinsi Hubei.

Risiko tim medis bisa terpapar muncul dari Li Wenliang, dokter yang terinfeksi ketika tengah merawat pasien, di mana sebelumnya dia sempat memperingatkan akan adanya potensi wabah.

Namun, peringatannya tersebut berbuah "kunjungan" dari polisi, di mana dia sempat diancam bakal diproses hukum karena dianggap menyebarkan kabar bohong.

Pada akhirnya, virus Covid-19 pun mewabah sesuai dugaan Li Wenliang. Dia sendiri diketahui meninggal dunia pada Jumat lalu (7/2/2020).

Kematiannya menimbulkan gelombang kemarahan dan protes dari publik seantero China, di mana 10 akademisi mengirim surat terbuka menuntut reformasi politik dan kebebasan berpendapat.

Baca juga: Gara-gara Virus Corona, Menu Olahan Ular dan Biawak Dihapus dari Grabfood

Defisit masker

Otoritas di Wuhan pada Jumat menyatakan, kota mengalami kekurangan kebutuhan harian penting seperti 56.000 masker N95, dan 41.000 pakaian pelindung.

Pejabat Komisi Kesehatan China Jiao Yahui berujar, tim medis diharuskan mengenakan popok, mengurangi konsumsi air, hingga ke kamar mandi.

Sumber internal itu menerangkan, defisit tersebut membuat kebanyakan tim medis mengenakan pakaian pelindung antara enam hingga sembilan jam.

Padahal idealnya, baju anti-material berbahaya (hazmat) tersebut maksimal dikenakan selama empat jam selama di area infeksi.

Baca juga: Saat 4.232 Pasien Virus Corona di Berbagai Negara Telah Sembuh...

"Tentu kami tidak menganjurkan cara demikian. Namun faktanya, kami tidak mempunyai alternatif lain," ujarnya pada pekan lalu.

Pemerintah pusat sudah merespons tuntutan tersebut dengan meminta dan mengerahkan pada produsen seantero Negeri "Panda" untuk memproduksi baju pelindung.

Pejabat lembaga perencana ekonomi Cong Liang mengatakan, sekitar tiga per empat produsen sudah kembali bekerja pada Senin (10/2/2020) setelah libur Tahun Baru Imlek usai.

Selain itu, Beijing juga mengimpor lebih dari 300 juta masker dan sekitar 3,9 juta lembar bahan pembuat baju pelindung sejak 24 Januari.

Palang Merah China juga 900 juta yuan, sekitar Rp 1,7 triliun, sebagai dana pengendalian wabah. Namun, terdapat kritik terkait kurangnya transparansi.

"Meski kami terus menerima masker, jumlah pasien yang datang terus bertambah, papar dokter sebuah rumah sakit utama di Wuhan.

Baca juga: WHO: Lebih Kuat dari Serangan Terorisme, Virus Corona Musuh Publik Nomor 1

Dia mengatakan setiap hari, seorang dokter atau perawat setidaknya menggunakan 2-4 masker, dengan konsumsinya terus bertambah.

Xu Yuan, warga AS berusia 34 tahun mendapat cerita bahwa temannya harus mengenakan pakaian pelindung tak memadai saat bertugas.

"Begitu dia memakainya, terdengar bunyi 'krak' karena ukurannya terlalu kecil," jelas Xu yang menyumbang 5.000 dollar AS, atau Rp 68,3 juta.

Dia menuturkan setelah mengenakan jas hazmat tersebut, temannya akan menyemprotkan disinfektan. "Katanya cara itu tak berguna. Namun tak ada opsi lain," paparnya.

Baca juga: Bantah Sepi karena Virus Corona, Bali Tetap Diminati Wisatawan

"Permintaan tolong"

Selain kurangnya peralatan, menangani pasien yang terus bertambah dan mengawasi mereka selama 24 jam menguras banyak tenaga.

"Mereka kelelahan," ucap dokter dari sebuah rumah sakit, di mana dia menceritakan ada temannya yang menangani 400 pasien dalam waktu delapan jam.

Si sumber mengisahkan bagaimana koleganya itu menangani "pasien yang langsung cepat meninggal, sehingga tidak bisa mereka selamatkan".

"Mereka jelas mendapat banyak tekanan," ujar si dokter anonim, yang menambahkan pihaknya kini membuka bagian psikologi untuk melakukan pengawasan.

Sementara ada dokter lain yang menuturkan mereka mendapat permintaan tolong dari warga Wuhan yang terlalu takut untuk pergi keluar.

"Kami bias mendengar permintaan tolong mereka. Namun tangan kami juga terikat. Tak ada yang bisa kami lakukan," cetus dia.

Baca juga: 1.113 Orang Meninggal, 500 Petugas Medis Terinfeksi Virus Corona di Wuhan

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com