Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengakuan Pengantin Pesanan di China: 2 Kali Menikah, Sering Dipukuli

Kompas.com - 22/01/2020, 18:35 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber BBC

PONTIANAK, KOMPAS.com - Yuniar menunjukkan darah dan memar di kepalanya ketika BBC dalam percakapan via WhatsApp yang terjadi akhir November lalu.

Saat itu, dia mengaku baru saja dipukuli suami. Ya, Yuniar merupakan salah satu korban pengantin pesanan yang berada di China.

Dilansir Rabu (22/1/2020), dia mengaku sudah menikah dua kali dengan pria di Negeri "Panda" itu melalui jasa comblang.

Baca juga: Kisah Pengantin Pesanan China: Anak Saya Diejek Anak Pelacur

Sejak terbang ke China dan menjadi pengantin pesanan, Yuniar mengaku belum pulang ke Indonesia sama sekali.

Kepada BBC, dia mengaku tinggal di kota Xuancheng, Provinsi Anhui. Berjarak sekitar 12 km dari KBRI yang berlokasi di Beijing.

"Suami pertama sering sekali pukuli aku, tapi suami yang sekarang baru dua kali pukul," ujar Yuniar melalui pesan WhatsApp.

Meski kerap dipukuli, Yuniar mengatakan dia menganggapnya sebagai buah dari rumah tangganya. "Tapi aku sudah tidak tahan hidup di China tanpa uang," katanya.

Dia mengatakan, keluarga suami tak mengizinkannya pulang kampung. Alasannya, mereka takut jika dia tidak kembali ke China.

Karena itu, dia saat ini tengah mencari-cari foto ayahnya yang sedang sakit. Harapannya jika mereka melihatnya, mereka akan mengizinkannya pulang.

Baca juga: Selama Setahun, Ada 20 Korban Perdagangan Manusia dengan Modus Pengantin Pesanan

Praktik pengantin pesan di China diyakini muncul karena jumlah laki-laki di sana jauh lebih banyak daripada perempuan.

Fakta tersebut tak pelak merupakan konsekuensi dari regulasi satu anak yang dicanangkan Beijing pada 1979 silam.

Berdasarkan pemberitaan SCMP Juni 2015 dan studi Institute for Family Studies Desember 2018 memaparkan, terdapat 120 anak laki-laki dibanding perempuan.

Artinya dalam empat dekade terakhir, terdapat 30 juta lebih banyak bocah laki-laki dibanding perempuan disebabkan nilai tradisional bahwa pria harus didahulukan.

Ketimpangan itu membuat para pria kesulitan mencari istri. Sebabnya, kalangan wanita mempunyai daya tawar untuk menolak laki-laki yang tidak mempunyai uang.

Baca juga: Dampak Kebijakan Satu Anak China: Para Pria Kesulitan Cari Istri

Akibatnya, generasi pria yang lajang masuk ke dalam "cabang telanjang". Karena mereka sama sekali tidak bisa dimasukkan ke dalam garis silsilah keluarga tanpa memiliki keturunan.

Ketimpangan, ditambah tekanan finansial yang harus dihadapi demi mendapat pasangan, membuat para pria China dilaporkan mulai melakukan berbagai macam cara.

Selain Indonesia, praktik pengantin pesanan tersebut juga menimpa negara Asia lain seperti Myanmar, Vietnam, bahkan Pakistan.

Sejak April hingga November 2019, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjalin komunikasi dengan sekitar 13 perempuan asal Kalimantan Barat yang menjadi korban.

Salah satunya adalah Merry. Dia sempat ditahan oleh kepolisian setempat selama sepekan sebelum diselamatkan oleh SBMI.

Direktur Perlindungan WNI di Kemenlu, Judha Nugroho menyatakan, KBRI tidak bisa serta merta memulangkan korban pengantin pesanan.

Judha berkata, terdapat sejumlah alasan hukum yang membuat ruang gerak KBRI terbatas dalam merespons persoalan para pengantin pesanan di China.

"Jika terikat perkawinan resmi dan tidak ingin melanjutkannya, mereka harus bercerai dulu. Kalau tidak, pemerintah China tidak akan mengeluarkan izin keluar kepada mereka," ujarnya, Kamis (19/12/2019).

Yang bisa dilakukan otoritas KBRI, papar Judha, adalah melapor ke pihak berwenang lokal agar mereka bisa menentukan sikap.

Baca juga: Dampak Kebijakan Satu Anak China (2): Para Pria Mengimpor Istri dari Negara Lain

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber BBC
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com