Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/01/2020, 14:51 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

PONTIANAK, KOMPAS.com - Puluhan perempuan Indonesia sepanjang 2019 dipulangkan pemerintah dan lembaga advokasi migran dari China setelah mereka terperangkap perdagangan manusia berkedok pernikahan.

Tidak ada data resmi tentang jumlah korban kasus ini, tetapi sejumlah perempuan Indonesia lainnya, yang sebagian besar berasal dari Kalimantan Barat, diduga masih berupaya melarikan diri dari rumah "suami atau mertua" mereka di China.

Walau diduga merupakan kejahatan transnasional yang melibatkan kartel perdagangan orang, belum satu pun pelaku yang dijatuhi hukuman di Indonesia.

Baca juga: Dampak Kebijakan Satu Anak China: Para Pria Kesulitan Cari Istri

BBC Indonesia bertemu dengan beberapa perempuan yang kerap disebut pengantin pesanan itu, baik yang berhasil kembali maupun yang masih berusaha mencari jalan pulang ke Indonesia.

"Mereka bilang tidak akan ada KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ternyata yang saya alami lebih parah. Kalau saya mengingat pengalaman itu, rasanya mengerikan."

Pernyataan itu diutarakan Merry, perempuan asal Kalimantan Barat. Saya menjumpai Merry di rumah semipermanen milik orang tuanya, November lalu, tujuh bulan setelah ia pulang dari China.

Merry tak menyangka kehidupan remajanya yang sempat jatuh ke titik nadir akan semakin tenggelam saat ia terbang ke China tahun 2018.

Kala itu Merry setuju menikah dengan laki-laki asal China. Ia bertemu lelaki itu setelah menerima tawaran dari Nurlela, sepupu perempuannya.

Merry bersedia menjalin rumah tangga dan diboyong laki-laki yang tak dikenalnya ke China. Ia berkata, pertimbangannya adalah iming-iming kesejahteraan yang lebih baik.

Baca juga: Dampak Kebijakan Satu Anak China (2): Para Pria Mengimpor Istri dari Negara Lain

"Coba kakak ikut saya nikah ke Tiongkok. Tunangan dulu, nanti bisa dapat uang Rp 20 juta," ujar Merry mengulang tawaran Nurlela, sepupunya yang juga pernah menjadi pengantin pesanan.

"Saya kaget. Kalau saya kerja di warung kopi, butuh berapa tahun kumpulkan uang sebanyak itu," tuturnya.

Saat menerima tawaran tersebut, Merry berusia 27 tahun. Saat itu ia belum lama memulai pekerjaan sebagai pelayan di sebuah warung kopi setelah bercerai dengan suami pertamanya.

Pada umur 16 tahun, Merry menikah dengan kawan sebayanya. Ia putus sekolah sebelum tamat sekolah menengah.

Selama pernikahan itu, ia tinggal di hutan bersama suami pertamanya yang mencari nafkah dengan cara menjaga perkebunan karet.

"Suami pertama saya peminum alkohol. Uang kami tidak cukup, apalagi anak kami saat itu sudah besar."

"Suatu hari sekitar jam 10 malam dia pulang dan meminta saya mengggoreng ikan asin. Saya bilang bahwa saya capai seharian mengurus anak dan kerja di kebun."

"Dia marah. Surat nikah dan kartu keluarga kami habis dia bakar. Kalau saya tidak lari, mungkin dia sudah bunuh saya dan anak kami," kata Merry.

Baca juga: Selama Setahun, Ada 20 Korban Perdagangan Manusia dengan Modus Pengantin Pesanan

"Terjerat sepupu sendiri"

Setelah peristiwa itu, Merry berupaya kembali membangun kehidupan, terutama untuk membiayai dua anaknya.

Sebuah perbincangan di Facebook dengan Nurlela menghadirkan angan-angan tentang kesejahteraan dalam pernikahan dengan pria China.

"Saya sering lihat unggahan dia pamer uang. Saya janda, pasti tergiur. Saya pikir, kalau hancur, hancur sekalian, tapi saya hancur untuk anak, bukan untuk hura-hura," kata Merry.

Sejak itulah Merry dikenalkan Nurlela kepada sejumlah orang yang belakangan ia sebut bagian dari sindikat perdagangan orang.

Dari Kabupaten Landak, Merry dibawa laki-laki yang disebutnya sebagai comblang ke Pontianak, kota terbesar di Kalimantan Barat, berjarak sekitar empat jam perjalanan dari rumahnya.

Di Pontianak, Merry mengaku bertemu tiga laki-laki asal China. Merry berkata, dua orang di antaranya merupakan agen perkawinan, sedangkan satu orang laki-laki lainnya adalah calon suaminya.

"Calon kamu pengusaha, kalau kamu nikah sama dia pasti enak, tidak akan menyesal. Kamu bisa pulang ke Indonesia kapan pun," kata Merry merujuk pernyataan comblangnya.

Baca juga: Imigrasi Soekarno-Hatta Akui Sulit Deteksi Perdagangan Manusia lewat Pengantin Pesanan

"Hidup mati saya sudah tidak ada yang tahu"

Sejak saat itu, proses perkawinan Merry dengan laki-laki China itu pun dimulai, dari pertunangan bernuansa tradisi Dayak hingga urusan administrasi paspor dan visa.

Berbeda dari perkawinan pertamanya, Merry mengaku tidak ada unsur cinta dalam rumah tangga keduanya. Ia pun tak menguasai Mandarin, bahasa yang digunakan suami keduanya.

Akhir tahun 2018, dibiayai comblang, Merry terbang ke China bersama ayahnya. Setibanya di Beijing, Merry diajak keluarga suaminya berkeliling kota, termasuk ke Lapangan Tiananmen.

Hari-hari yang tak pernah Merry bayangkan terjadi setelah ayahnya pulang ke Indonesia, kondisi yang ia sebut sebuah perangkap.

"Aktivitas saya dari pagi nyapu, ngepel, nyuci pakaian, masak, lalu masuk ke kamar. Sorenya begitu lagi. Setiap hari. Saya tidak tahu kenapa tidak boleh keluar rumah, mertua bilang dia takut saya diculik orang," kata Merry.

"Bulan Desember, bapaknya mulai kurang ajar. Saya menerima pelecehan seksual. Saya kasih bukti ke suami, tapi dia tidak percaya. Saya dipukul kayu."

"Handphone saya diambil. Pamannya cekik saya, bibinya pegang tangan saya, ibunya tarik ponsel dari tangan saya."

"Saya putus hubungan dengan keluarga. Hidup mati saya sudah tidak ada yang tahu. Setiap hari kepala saya dipukul. Saya cuma bisa pasrah dan berdoa," ujar Merry.

Baca juga: Berbagai Modus Perdagangan Manusia, dari Pengantin Pesanan hingga Pemberian Beasiswa

Peluang untuk melarikan diri

Merry berkata, suaminya tidak pernah mengirim uang untuk keluarganya di Landak, Kalimantan Barat. Ibu mertuanya malah menyuruhnya bekerja membuat kerajinan tangan, tanpa upah.

April 2019, Merry menerima tawaran bekerja di pabrik gelas. "Saya pikir kalau saya tidak ambil peluang itu, seumur hidup saya akan terus di rumah suami," ucapnya.

Di pabrik itu, Merry ditugasi menyusun gelas ke dalam kardus. Walau keluar rumah, ibu mertua Merry tetap menunggui dan mengawasinya di pabrik.

Meski begitu, Merry berkata bahwa itu adalah peluang terbesarnya untuk kabur dan pulang ke Indonesia.

"Saya berdoa terus dalam hati. 'Kalau memang ini peluang saya kabur, Tuhan tolong saya.' Saya menunggu kesempatan terus."

Baca juga: 14 Korban Pengantin Pesanan Asal Indonesia Dipulangkan dari Beijing

"Hari ketujuh kerja di sana, sekitar jam 12 siang, saya lihat ada pintu untuk naik ke tembok, saya panjat walaupun tidak tahu apa di balik dinding itu. Ternyata kandang babi, saat saya lompat mereka teriak, saya berlari sejauh mungkin."

"Saya cari taksi. Saya bilang ke sopir mau ke KBRI, tapi dia tidak mengerti bahasa saya. Saya cuma bilang, 'Beijing, Beijing!'"

Dan itu bukanlah akhir dari pelarian Merry. Uang di kantongnya tak cukup mengantarnya ke Beijing. Sopir taksi membawa Merry ke kantor kepolisian.

Di sana, kata Merry, ia tak mendapatkan jaminan mendapat pertolongan untuk pulang ke Indonesia. Ia mengaku diinapkan kepolisian setempat di sebuah kamar sewaan selama sepekan.

Tak ada bekal makanan atau minuman, seminggu itu Merry bertahan dengan cara meneguk air keran. Selama penantiannya itu, Merry bertemu perempuan pengantin pesanan asal Indonesia.

Lia, nama perempuan itu, menyarankan Merry menuliskan kondisi dan rencananya untuk pulang ke Indonesia ke Facebook.

Dari unggahan itulah, Serikat Buruh Migran Indonesia mengenal Merry dan akhirnya membantu kepulangannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com