Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taipan Media Michael Bloomberg Deklarasi Maju Pilpres AS 2020

Kompas.com - 25/11/2019, 18:44 WIB
Ericssen,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

NEW YORK, KOMPAS.com – Mantan Wali Kota New York, Michael Bloomberg, mendeklarasikan pencalonannya untuk bertarung dalam Pilpres AS 2020 mendatang.

"Mengalahkan (Presiden) Donald Trump dan membangun kembali AS adalah pertarungan yang cukup penting dan darurat. Saya siap melakukannya," ucapnya dikutip New York Times Senin (25/11/2019).

Keputusan Michael Bloomberg mengakhiri spekulasi panjang, apakah dia akan meramaikan bursa capres Partai Demokrat yang saat ini mempunyai 18 bakal capres.

Baca juga: Jadi Pesaing Trump, Ini Kisah Sukses Michael Bloomberg

Nama Bloomberg kerap disebut calon kuat presiden setiap kali perhelatan Pilpres AS. Dia sempat mempertimbangkan terjun pada 2008, 2012, dan 2016 sebagai calon independen meski menarik diri.

Bloomberg awalnya memutuskan tidak maju dalam Pilpres AS 2020. Taipan media ini telah menyatakan pada Maret lalu bahwa dia tidak akan berlaga.

Ketika itu, dia menilai mantan Wakil Presiden Joe Biden, sesama politisi moderat, sebagai sosok tepat untuk mengalahkan Trump.

Namun, seiring anjloknya perolehan dukungan Biden di survei serta melesatnya bakal calon berideologi progresif atau kiri, dia akhirnya memutuskan turun tangan.

Baca juga: Taipan Media Michael Bloomberg Tak Maju di Pilpres AS 2020

Alternatif Blok Moderat

Tidak dapat dibantah, keraguan apakah Biden bisa memenangkan nominasi Demokrat menjadi alasan utama Biden untuk mengajukan diri.

Blok moderat melihat taipan media 77 tahun itu sebagau altternatif untuk mendongkel kubu kiri yang dipimpin Senator Massachusetts Elizabeth Warren, atay Senator Vermont Bernie Sanders.

Orang terkaya ke-14 dunia itu menyatakan kecemasannya terhadap haluan partai yang bergerak semakin ke kiri.

Pergerakan itu membuat Demokrat kehilangan pendukung independen, moderat, maupun kaum Republik yang tidak menyukai Trump, namun juga tak menginginkan capres "radikal kiri".

Pemilih yang mayoritas tinggal di kawsan pinggiran ini diprediksi bakal memainkan peranan penting untuk menentukan pemenang pilpres November 2020.

Baca juga: Bloomberg: Venezuela Jadi Negara Paling Sengsara di Dunia

Pengalamannya memimpin kota New York selama 12 tahun, atau tiga periode menjadi nilai lebih yang dimiliki Bloomberg.

Advokasinya terhadap isu lingkungan, dan pembatasan kepemilikan senjata merupakan nilai positif yang sering ditonjolkan Bloomberg di mata pemilih, terutama kaum progresif yang meragukan kredensialnya.

Tak kalah penting, kekayaan sang taipan media yang akan menjadi senjata penting untuk menanding mesin politik Trump yang bergerilya meningkatkan dana kampanye.

Statusnya sebagai salah satu orang terkaya versi Forbes pada 2019 ini telah menyatakan bakal mendedikasikan hartanya yang senilai 54,4 miliar dollar AS (Rp 764 triliun) untuk mendanai kampanyenya.

Baca juga: Melesat di Survei Iowa, Wali Kota Gay Ini Jadi Kuda Hitam Pilpres AS

Sejumlah Kelemahan Bloomberg

Pencapresan Bloomberg bukannya tanpa kelemahan. Dia memutuskan menerapkan strategi kampanye riskan dengan memilih tak berlaga di empat negara bagian krusial. Yakni Iowa, New Hampshire, Nevada, dan South Carolina.

Tim kampanyenya sudah menyebut bakal fokus pada kontestasi Super Tuesday yang digelar 3 Maret 2020 di 14 negara bagian.

Termasuk negara bagian padat penduduk dengan jumlah delegasi besar seperti California, Massachusetts, maupun Texas.

Dia telah berencana bakal menggelontorkan kekayaannya untuk menayangkan iklan di negara bagian padat penduduk tersebut.

Strategi ini pernah dicoba Rudy Giuliani, pendahulu Bloomberg sebagai Wali Kota New York dalam primary Partai Republik di Pilpres AS 2008.

Hanya, taktik ini gagal dengan Giuliani menderita kekalahan di negara bagian berdelegasi besar, Florida, setelah dia melewatkan empat kawasan awal.

Selain itu, reputasi Bloomberg yang kerap berganti partai juga berpotensi menjadi penghalangnya, di mana dia sering digambarkan oportunis politik.

Pebisnis berdarah Yahudi ini tercatat sebagai anggota Demokrat hingga 2001, sebelum bergabung bersama Republik demi menggapai kursi Wali Kota New York 2001-2007 silam.

Baca juga: Teman Dekat Mantan Presiden Barack Obama Ramaikan Pertarungan Pilpres AS 2020

Kansnya diperberat dengan fakta umurnya yang senja, ditambah statusnya triliuner berkulit putih yang dekat dengan Wall Street.

Diyakini, Bloomberg bakal sulit mendapat tempat di partai yang secara tegas menyatakan bakal melawan korporasi rakus dan triliuner yang mencoba membeli hasil pemilu.

Kemudian pada 2007, dia sempat menjajal jalur independen sebelum kembali masuk Demokrat tahun lalu di tengah rumor pencapresan dirinya.

Pertanyaan lain yang menggelayut adalah, kemampuan Bloomberg dalam memenangkan suara pemilih kulit hitam, di mana mereka memainkan kunci penting dalam pemilihan Demokrat.

Elektabilitas Bloomberg ini sangat rendah di mata Afro-Amerika karena kebijakan agresifnya bernama Stop-and-Frisk, atau Cegat dan Geledah ketika dia menjabat wali kota.

Kebijakan yang sangat tidak populer ini mengizinkan polisi untuk menghentikan, menggeledah, menginterogasi, atau menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan kriminal.

Mayoritas korban Stop-and-Frisk adalah warga Afro-Amerika. Bloomberg sendiri telah meminta maaf pekan lalu atas kebijakannya yang dinilai rasis itu.

Baca juga: Kampanye Trump di Pilpres AS 2020 Terancam Direcoki Hacker Iran

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com