Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taipan Media Michael Bloomberg Deklarasi Maju Pilpres AS 2020

Kompas.com - 25/11/2019, 18:44 WIB
Ericssen,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

Statusnya sebagai salah satu orang terkaya versi Forbes pada 2019 ini telah menyatakan bakal mendedikasikan hartanya yang senilai 54,4 miliar dollar AS (Rp 764 triliun) untuk mendanai kampanyenya.

Baca juga: Melesat di Survei Iowa, Wali Kota Gay Ini Jadi Kuda Hitam Pilpres AS

Sejumlah Kelemahan Bloomberg

Pencapresan Bloomberg bukannya tanpa kelemahan. Dia memutuskan menerapkan strategi kampanye riskan dengan memilih tak berlaga di empat negara bagian krusial. Yakni Iowa, New Hampshire, Nevada, dan South Carolina.

Tim kampanyenya sudah menyebut bakal fokus pada kontestasi Super Tuesday yang digelar 3 Maret 2020 di 14 negara bagian.

Termasuk negara bagian padat penduduk dengan jumlah delegasi besar seperti California, Massachusetts, maupun Texas.

Dia telah berencana bakal menggelontorkan kekayaannya untuk menayangkan iklan di negara bagian padat penduduk tersebut.

Strategi ini pernah dicoba Rudy Giuliani, pendahulu Bloomberg sebagai Wali Kota New York dalam primary Partai Republik di Pilpres AS 2008.

Hanya, taktik ini gagal dengan Giuliani menderita kekalahan di negara bagian berdelegasi besar, Florida, setelah dia melewatkan empat kawasan awal.

Selain itu, reputasi Bloomberg yang kerap berganti partai juga berpotensi menjadi penghalangnya, di mana dia sering digambarkan oportunis politik.

Pebisnis berdarah Yahudi ini tercatat sebagai anggota Demokrat hingga 2001, sebelum bergabung bersama Republik demi menggapai kursi Wali Kota New York 2001-2007 silam.

Baca juga: Teman Dekat Mantan Presiden Barack Obama Ramaikan Pertarungan Pilpres AS 2020

Kansnya diperberat dengan fakta umurnya yang senja, ditambah statusnya triliuner berkulit putih yang dekat dengan Wall Street.

Diyakini, Bloomberg bakal sulit mendapat tempat di partai yang secara tegas menyatakan bakal melawan korporasi rakus dan triliuner yang mencoba membeli hasil pemilu.

Kemudian pada 2007, dia sempat menjajal jalur independen sebelum kembali masuk Demokrat tahun lalu di tengah rumor pencapresan dirinya.

Pertanyaan lain yang menggelayut adalah, kemampuan Bloomberg dalam memenangkan suara pemilih kulit hitam, di mana mereka memainkan kunci penting dalam pemilihan Demokrat.

Elektabilitas Bloomberg ini sangat rendah di mata Afro-Amerika karena kebijakan agresifnya bernama Stop-and-Frisk, atau Cegat dan Geledah ketika dia menjabat wali kota.

Kebijakan yang sangat tidak populer ini mengizinkan polisi untuk menghentikan, menggeledah, menginterogasi, atau menahan seseorang yang diduga melakukan tindakan kriminal.

Mayoritas korban Stop-and-Frisk adalah warga Afro-Amerika. Bloomberg sendiri telah meminta maaf pekan lalu atas kebijakannya yang dinilai rasis itu.

Baca juga: Kampanye Trump di Pilpres AS 2020 Terancam Direcoki Hacker Iran

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com