Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Keluarga Migran Afghanistan Diselundupkan ke Austria Menggunakan Truk

Kompas.com - 28/10/2019, 20:45 WIB
Agni Vidya Perdana

Penulis

KOMPAS.com - Kasus ditemukannya jenazah hampir 40 orang dalam kontainer truk di Inggris pekan lalu, kembali membuka kembali ingatan Nasir Ahmad akan pengalaman serupa yang dilaluinya pada tahun 2015.

Bersama istri dan keenam anaknya, Nasir meninggalkan Afghanistan untuk menempuh perjalanan selama berhari-hari menuju Austria.

Perjalanan yang ditempuh Nasir termasuk menggunakan truk tertutup, seperti yang dialami para korban penyelundupan yang ditemukan di Essex, Inggris.

"Empat tahun lalu, saya juga diseludupkan masuk ke Eropa menggunakan truk bersama keluarga, dan melihat wanita juga anak-anak mengalami kesulitan bernapas di dalam truk yang tertutup."

"Saat mendengar cerita mengenai puluhan orang yang tewas dalam sebuah truk di Inggris baru-baru ini, saya jadi teringat lagi perjalanan saya dari Afghanistan ke Austria," ujarnya dikutip ABC Indonesia.

Baca juga: Polisi Inggris Temukan 39 Mayat dalam Sebuah Kontainer Truk

Nasir mengatakan, dirinya bisa saja menjadi korban seperti yang terjadi di Inggris.

"Saya, istri dan anak-anak hanya bisa menangis mendengar cerita mereka," ujar dia.

Nasir Ahmad lahir di Kabul pada tahun 1975, empat tahun sebelum Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Dia mengatakan, seumur hidupnya berada di tengah negara yang berperang.

Saat berusia 17 tahun, Nasir masuk sekolah perawatan.

Pada 1992, kelompok mujahidin memulai perang saudara, mengaibatkan ratusan orang termasuk dari kalangan sipil menjadi korban setiap harinya.

"Saya menghabiskan waktu setiap hari untuk membantu mereka yang terluka. Saya bahkan masih bisa mengingat dengan jelas mereka yang terluka," ujarnya.

Selanjutnya pada 1996, Taliban mulai berkuasa di Afghanistan dan semuanya kembali berubah menjadi lebih buruk bagi keluarganya.

"Kami berasal dari suku Hazara, suku yang tidak disukai kelompok Taliban yang sebagian besar berasal dari suku Pashtun."

"Suatu hari, seorang dokter dari suku Pashtun datag dan memperingatkan saya untuk segera meninggalkan Afghanistan," tuturnya.

Baca juga: Kasus 39 Mayat Dalam Kontainer Truk: Polisi Inggris Total Tangkap 4 Terduga Pelaku

"Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya kemudian memelihara brewok, mengenakan pakaian seperti Taliban, dan melarikan diri ke Pakistan dengan seorang teman."

Namun karena rindu dengan Afghanistan, Nasir sempat kembali.

Hingga pada tahun 2001, Amerika Serikat dapat mengusir Taliban. Nasir mempelajari tentang hukum dan menjadi pegiat hak asasi manusia.

"Salah satu kerja saya adalah menghadiri pertemuan dengan pemuka agama (mullah) dan setiap kali saya berbicara mengenai hak perempuan, mereka marah," ujarnya.

"Saya sempat diserang dua kali di jalanan kota Kabul dan harus dirawat di rumah sakit," kata Nasir.

Meninggalkan Afghanistan

Hingga suatu hari, seorang tukang roti yang tinggal di dekat rumahnya membangunkan dia pada pukul 5 dini hari dan mengatakan ada sekelompok orang bersenjata yang mencarinya.

"Saat itu saya sadar jika situasinya telah menjadi serius."

"Saya dan istri saya memutuskan melarikan diri malam itu juga bersama keenam anak kami yang berusia antara dua sampai 14 tahun. Ketika itu bulan September 2015," ujar Nasir.

Dengan bantuan sepupunya yang meminta bantuan penyelundup, Nasir dan keluarganya akan meninggalkan Afghanistan dan menuju Turki.

Diperlukan biaya sekitar Rp 200 juta untuk menyelundupkan satu keluarga keluar dari Afghanistan.

Sepupu Nasir bahkan sampai menggadaikan rumah keluarganya di Kabul untuk membayar biaya yang diminta penyelundup.

Tingginya harga itu lantaran pihak penyelundup yang juga harus membayar uang suap kepada Taliban agar tidak menyerang mereka selama perjalanan.

"Kami berangkat menggunakan bus ke Nimroz yang berbatasan dengan Iran dan Pakistan. Ini perjalanan yang berbahaya khususnya bagi warga suku Hazara," ujar Nasir.

Baca juga: 20 Warga Vietnam Diduga Termasuk 39 Mayat yang Ditemukan dalam Truk Kontainer di Inggris

"Penyeludup dan polisi bekerja sama seperti sebuah kelompok mafia besar, dan perbatasaan itu dikuasai oleh Taliban dan Al Qaeda."

"Mereka bekerja sama dan ini merupakan bisnis besar," lanjutnya.

Dalam truk pikap yang ditumpangi Nasir dan keluarganya ada sekitar 50 orang lebih, termasuk perempuan dan anak-anak, tua hingga muda. Mereka semua berdiri di bagian belakang truk pikap.

"Banyak yang terluka. Saya harus merangkul dua anak sana selama delapan jam dalam perjalanan yang sulit itu," kata Nasir.

Di tengah gurun di Pakistan, truk yang mereka tumpangi mogok dan mereka harus menunggu hingga 24 jam sebelum sebuah kendaraan lain datang untuk membawa mereka ke perbatasan Iran.

"Kami tidak punya makanan dan hanya punya dua botol air minum," kata Nasir.

Perjalanan ke perbatasan Iran juga dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati pegunungan pada malam hari.

Di perbatasan, mereka sudah ditunggu dua buah truk yang akan mengangkut lebih dari 100 orang imigran.

"Hampir tidak ada udara dan kami sulit sekali bernapas. Beberapa perempuan bahkan sempat pingsan."

"Kami meminta supir untuk berhenti, namun mereka tidak mau karena takut akan ditangkap polisi Iran."

"Kami mendengar truk satu lain ditembaki oleh polisi, dan orang-orang ditangkap untuk kemudian dikembalikan ke Afghanistan."

"Sopir kami ketakutan dan meninggalkan kami di hutan. Kami tidak bisa tidur."

Baca juga: Mayat Perempuan Korban Kecelakaan Ditemukan dalam Kontainer

Keesokan harinya, datang sebuah truk lain dengan bak tertutup. Kali ini, sekitar 80 orang naik ke dalam truk tersebut.

"Kami memiliki minuman dan makanan, tapi tidak ada toilet."

"Kami berada di truk sekitar 36 jam. Di malam hari kami diizinkan 30 menit ke hutan untuk buang hajat, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Teheran," ujar Nasir.

"Ketika sampai di Teheran, saya ingin tinggal beberapa hari untuk memutuskan tinggal di sana atau harus melanjutkan perjalanan."

"Tetapi sepupu saya sudah membuat perjanjian dengan penyeludup bahwa kami akan ke Turki dan uangnya baru akan dibayar setelah didapat kepastian kami selamat tiba di sana."

"Kalau kami membayar di depan, mereka mungkin sudah meninggalkan kami di tengah jalan, seperti yang terjadi pada ribuan orang yang diselundupkan lainnya," lanjut Nasir.

Tiba di Iran, Nasir dan orang-orang dari Afghanistan lainnya dibawa ke sebuah pabrik yang dijaga oleh para pria bersenjata.

Seluruh penyeludup itu diyakini Nasir berasal dari satu kelompok yang bertugas membawa orang-orang keluar dari Aghanistan ke Pakistan, kemudian dari Pakistan ke Iran, dan dari Iran ke Turki.

Baca juga: Terjebak di Kontainer Saat Suhu Panas, 2 Bandar Narkoba Belgia Lapor Polisi

Perjalanan dilanjutkan keesokan harinya menggunakan truk yang sama untuk rute 20 jam menuju Turki.

Pada satu bagian, orang-orang itu, termasuk keluarga Nasir Ahmad, harus berjalan menyeberangi danau.

"Butuh waktu lima jam untuk menyeberang, dan saya harus menggendong salah seorang putri saya yang kakinya cedera."

"Dua kali istri saya jatuh ke dalam danau, semua kami kedinginan karena hujan, dan basah."

"Kami kehilangan seluruh tas bawaan kami dan anak-anak menangis," ujarnya.

Perjalanan akhirnya tiba di sebuah desa di Turki.

Orang-orang tersebut dibawa ke sebuah rumah kecil dengan tiga kamar dan dua kamar mandi, sementara ada 300 orang di dalamnya.

"Kami tidak diizinkan meninggalkan rumah tersebut sampai para penyelundup itu mendapatkan bayaran mereka."

"Saya beruntung karena setelah tiga hari sepupu saya membayarkan uang itu sehingga kami bebas," kata Nasir.

Menuju Yunani dan Tinggal di Austria

Setelah dilepaskan para penyelundup, Nasir melanjutkan perjalanan menuju Yunani bersama imigran ilegal lainnya.

Mereka dibawa menggunakan sebuah perahu karet kecil yang dipaksa mengangkut hingga 80 orang.

Namun setibanya di Yunani, harapan mulai terlihat bagi Nasir.

"Tiba-tiba kami disambut dengan baik. Ada wartawan, ada orang-orang lain yang mau membantu kami. Kami mendapatkan pakaian," ujarnya.

"Di Kabul saya bekerja dengan organisasi HAM, namun baru di Yunani saya belajar apa sebenarnya arti hak asasi manusia," tambahnya.

Perjalanan selanjutnya dari Yunani menuju Austria dikatakan Nasir lebih mudah.

Baca juga: Kamar Mayat Penuh, 100 Jenazah Tak Dikenal Disimpan di Kontainer

"Perbatasan terbuka dan saya sekarang sudah tinggal di sini selama hampir empat tahun bersama istri dan anak-anak."

"Saya harus mulai dari nol. Negeri baru, bahasa baru, budaya baru."

"Tidak ada teman, tidak ada sanak keluarga. Sendirian dan banyak masalah-masalah lain.

"Saya mempelajari bahasanya dan saya punya pekerjaan. Kami bisa melakukan semua ini," kata Nasir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com