Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mitigasi Bencana di Indonesia, Terbentur Keterbatasan Dana

Kompas.com - 12/10/2019, 05:30 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Meski 13 tahun sudah berlalu, tetapi ingatan Ashadi, 45, masih kuat menggambarkan bencana tsunami yang dialaminya 17 Juli 2006.

Gelombang tsunami itu dipicu oleh gempa itu di selatan Pantai Pangandaran, Jawa Barat.

Tidak hanya Pangandaran yang luluh lantak, Desa Widarapayung Wetan, Kecamatan Binangun, Cilacap, Jawa Tengah juga terkena imbas bencana itu.

"Tidak sekadar panik, tetapi ketakutan luar biasa. Orang-orang berteriak "segarane ngalor...segarane ngalor..." (lautnya ke utara, red)," kenang Ashadi kepada Lilik Darmawan untuk BBC Indonesia.

Baca juga: Pesan Siaga Bencana di Indonesia, Kisah Nyi Roro Kidul hingga Syair Kuno Macapat dan Kayori

Oleh karena rumah Ashadi hanya berjarak sekitar satu kilometer dari laut, ia buru-buru membonceng istri, dua anak, dan adiknya dengan satu motor.

Tujuannya ke arah utara menuju aula Kecamatan Binangun.

"Orang-orang terlihat begitu trauma. Kami baru sadar, kalau tsunami yang pernah terjadi di Aceh, menerjang juga desa kami,"ujar Ashadi.

Setelah mengungsikan keluarganya, Ashadi kembali lagi ke Pantai Widarapayung yang diterjang tsunami dan melihat gelombang setinggi satu meter.

Ia mencoba menolong korban selamat dan mengevakuasi jenazah.

Baca juga: Bencana Tanah Bergerak Kembali Terjang Sukabumi, 2 Rumah Rusak, Dalam Retakan Capai 5 Meter

Di tahun 2012-2014, Desa Widarapayung Wetan menjadi desa tangguh bencana (Destana) dan pemerintah daerah mengucurkan dana hingga Rp25 juta. Lilik Kurniawan untuk BBC Indonesia Di tahun 2012-2014, Desa Widarapayung Wetan menjadi desa tangguh bencana (Destana) dan pemerintah daerah mengucurkan dana hingga Rp25 juta.

Berbekal pengalaman traumatik itu, warga berkoordinasi dengan pemerintah desa untuk memberikan pembekalan mengenai bencana tsunami pada warga.

Ia pun akhirnya mengikuti serangkaian pelatihan bencana yang diadakan sejumlah pihak, seperti Universitas Gadjah Mada.

Berbekal pengetahuan itu, Ashadi menyusun program sosialisasi bencana untuk disosialisasikan kepada masyarakat. Tak melulu soal bencana, program itu mencakup kegiatan sosial seperti arisan, yasinan, dan tahlilan.

Di tahun 2012-2014, Desa Widarapayung Wetan menjadi desa tangguh bencana (Destana) dan pemerintah daerah mengucurkan dana hingga Rp25 juta untuk kegiatan sosialisasi tanggap bencana.

Baca juga: Dilanda Hujan Deras dan Angin Kencang, Semalam Bogor Dikepung Bencana

Ashadi sendiri menjabat Ketua Destana Widarapayung Wetan sekaligus juga Ketua gerakan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT).

Dana tersebut digunakan untuk mitigasi bencana seperti pembelian cemara, ketapang, kelapa untuk ditanam di pinggir pantai. Namun, selepas 2014, dana untuk Destana berhenti mengucur.

Ia mengakui dengan tidak ada dana, maka kegiatan di zona bahaya tsunami itu menjadi terkendala.

Sebab, ujarnya, program- program sosialisasi masyarakat membutuhkan biaya.

Baca juga: Pemprov Maluku Perpanjang Masa Tanggap Darurat Bencana Gempa

Anak-anak sekolah menjalani simulasi penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi. BBC Indonesia/Callistasia Wijaya Anak-anak sekolah menjalani simulasi penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi.

Dihubungi terpisah, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Cilacap Tri Komara Sidhy mengakui kalau dana operasional secara rutin untuk Destana tidak ada.

"Kalau dana yang dikeluarkan hanya pada awal pembentukan. Misalnya, saat ini untuk membentuk Destana dianggarkan Rp50 juta untuk sosialisasi hingga simulasi," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com