KOMPAS.com - Sejak 1989 PBB telah mempromosikan budaya pengurangan risiko bencana di tingkat global sehingga setiap tanggal 13 Oktober diperingati sebagai hari internasional untuk pengurangan risiko bencana.
Budaya pengurangan risiko bencana itu, menurut peneliti tsunami purba dari LIPI, Eko Yulianto, sudah lama diterapkan masyarakat Indonesia dalam wujud cerita dan legenda.
Kearifan lokal ini bisa digunakan untuk membangun kesadaran masyarakat masa kini terkait risiko bencana, kata peneliti tsunami purba Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto.
Baca juga: Wagub Uu: Hadapi Bencana Alam, Warga Tak Cukup Dibekali Ilmu Saja
Yogyakarta, Palu, dan Banten adalah tiga daerah yang pernah mengalami gempa bumi, tsunami, hingga likuefaksi beberapa tahun belakangan.
Ribuan orang tewas akibat bencana-bencana itu, walau kearifan lokal setempat telah menunjukkan bencana serupa pernah terjadi di masa lampau.
Berikut sejumlah kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia:
Ia dan sang paman pun sepakat mencari bantuan ke penguasa Laut Selatan dan ke penguasa Gunung Merapi, tutur peneliti tsunami purba, Eko Yulianto.
Oleh karena direstui, Gunung Api meletus lalu mengalirkan lahar yang menggagalkan pasukan Sultan Hadiwijaya.
Panembahan Senopati juga mendapat dukungan Nyi Roro Kidul.
Baca juga: Potensi Tsunami Selatan Jawa, Bagaimana Kisah Nyi Roro Kidul Beri Petunjuk Kebenarannya?
Menurut Babad Tanah Jawi, Panembahan Senopati bersemedi sebelum mendirikan kerajaannya. Semedi itu memicu hawa panas yang menyebabkan gelombang besar.
Bagaikan badai yang tak kunjung henti. Semuanya itu seperti sedang menyambut Senopati yang sedang bersamadi. Kangjeng Ratu Kidul sudah mengetahui apa sebab Laut Selatan begitu bertambah dashyat ombaknya seperti diputar saja.
(Terjemahan Babad Tanah Jawa, Cap-capan II, Sadu Budi, Solo, Wirjapanitra)
Penguasa Laut Selatan Nyi Roro Kidul akhirnya menemui Panembahan Senopati untuk memintanya berhenti karena gelombang itu mengganggu rakyatnya.
Ia berjanji kepada Panembahan untuk menolongnya mendirikan kerajaan Mataram Islam.
Baca juga: Mengungkap Jejak Tsunami Purba dalam Mitos Nyi Roro Kidul
Menurut Eko, cerita gelombang itu adalah metafora tsunami raksasa yang pernah terjadi di Selatan Jawa.
"Itu adalah kecerdasan politik Panembahan Senopati dalam mengemas kejadian alam yang benar-benar terjadi untuk mendapatkan legitimasi politik bagi dia sebagai raja baru," ujar Eko.
Eko sendiri pernah menemukan apa yang diyakininya sebagai lapisan tsunami yang terjadi sekitar 400 tahun yang lalu di Selatan Jawa.
Sebelumnya, peneliti tsunami Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, membuat pemodelan bencana dengan fokus ke daerah Selatan Jawa dan menemukan gempa bermagnitudo 8,8 dan tsunami dengan tinggi 20 meter berpotensi terjadi di daerah itu.
Hingga kini, masyarakat di sekitar Jawa melakukan upacara Labuhan di beberapa titik seperti ke Gunung Lawu , Gunung Merapi, pantai Parangtritis untuk memohon keselamatan.
Baca juga: Ini Jawaban Bupati Purwakarta soal Menikahi Nyi Roro Kidul
Sayangnya, tembang ini jarang dipelajari masyarakat karena dianggap kuno, bahkan syirik dan bid'ah.
Mbah Kadi, 71, warga Piyungan, Bantul, DIY, mengaku heran mengapa banyak orang yang sekarang tidak mau belajar tembang-tembang macapat.
Padahal tembang macapat sudah dimodifikasi untuk memuat pesan-pesan siaga bencana.
Baca juga: 13 Tahun Terpisah karena Gempa Yogyakarta, Agustinus dan Juminten Akhirnya Bertemu...
"Banyak tembang macapat yang mengingatkan manusia terkait bahaya erupsi Merapi, gempa, longsor, tsunami, dan bencana-bencana lainnya," ujar Mbak Kadi kepada wartawan Furqon Ulya Himawan untuk BBC News Indonesia.
Mbah Kadi membuka sejumlah catatan yang di dalamnya terdapat Tembang Pangkur yang menerangkan bencana gempa bumi dan cara mitigasi bencana.
Baca juga: 13 Tahun Gempa Yogyakarta, Ini Fakta yang Perlu Diketahui
Bumi geter gawe rusak
Omah rubuh lemah bengkah tsunami
Iku ing aranan Lindu
Mergane ono tiga
Lemah Amblek, Longsor lan Vulkanik Gunung