Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Maya Karin, Dari Ratu Jerit menjadi Ratu Hijau

Kompas.com - 06/10/2019, 23:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA pekan lalu, bersama ikon Greta Thurnberg yang berumur enam belas tahun, jutaan anak muda berkumpul di berbagai kota di seluruh dunia untuk memprotes ketidakpedulian yang senantiasa terus berlanjut pada isu perubahan iklim (#climatestrike).

Yang mengherankan adalah respons dari kawasan Asia Tenggara yang relatif biasa saja (demonstran di Jakarta dan Kuala Lumpur hanya berjumlah ratusan).

Namun demikian, Malaysia dan Indonesia, yang diselubungi oleh asap yang mencekik dari kebakaran hutan, adalah yang terdepan dalam pertaruhan eksistensial ini.

Mengingat skala kerusakan yang besar, sebuah serangan besar terhadap keanekaragaman hayati kita beserta kesehatan umum, di manakah amarah dan murka dari publik?

Baca juga: Apa Bedanya Pemanasan Global dengan Perubahan Iklim?

Sungguh, siapakah yang mesti disalahkan? Pemerintah kah? Sang korporasi minyak kelapa sawit yang sangat kuat itu kah? Ataukah para pengusaha kecil dan para petani?

Sayangnya, kesadaran lingkungan di kedua negara kawasan Asia Tenggara ini masih sangat terbatas.

Tapi sejumlah individu, yang beberapa di antaranya merupakan selebritas, mencoba yang terbaik untuk mengubah situasi ini. Serta sang artis Maya Karin (seleb box office terkenal dan bintang film horor “Munafik 2”) sejauh ini adalah yang paling menonjol dan terdepan dalam hal komitmen terhadap isu lingkungan.

Memang, akhir pekan lalu, sesaat sebelum dia pergi tidur, sang artis ini mengunggah sebuah twit memohon Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (“Jokowi”) untuk mengintervensi masalah kabut. Ia mengakhiri twit tersebut dengan sebuah permohonan “akankah kita biarkan keserakahan menang?”

Dalam semalam, pesan itu menjadi viral. Pada saat artikel ini ditulis, pesan itu telah di-retweet sebanyak 28,600 kali.

Perempuan yang sebentar lagi menginjak umur 40 tahun, keturunan Jerman-Melayu dan “Ratu Jerit” ini telah menjadi “Ratu Hijau,” meski sebenarnya dia adalah sosok yang glamor.

Sambil menggenggam botol air refill, ia duduk dengan kaki tersilang di sofa dalam wawancara ini. Tampak jelas, ia memiliki daya tarik dan atmosfir anak muda yang ‘hippie-chick’.

“Saya sejak lama selalu menjadi seseorang yang mengikuti arus saja. Karir saya tidak pernah direncanakan. Saya sebelumnya tidak pernah memiliki ambisi atau pencapaian-pencapaian tertentu untuk menjadi selebritas,” katanya.

Baca juga: Pemanasan Global Membuat Manusia Jadi Kanibal, Benarkah?

Banyak dari kegiatan aktivis yang ia ikuti memiliki rekam jejak yang serupa. #MayaKarinChallenge, sebuah tantangan di mana orang-orang merendamkan diri di dalam air untuk menjajal kebersihan dan kemurnian sungai Malaysia, yang viral di media sosial, adalah sebuah hasil spontan yang terjadi saat ia berswafoto sambil berbaring di sungai dalam perjalanan pulang dari hutan hujan Belum di Perak.

“Itu tidak direncanakan! Saya mengambil swafoto. Dan ternyata seorang penggemar saya memutuskan untuk meniru itu. Saya pikir cukup lucu sehingga saya me-retweet-nya. Semuanya kemudian seakan-akan meledak!” katanya. 

Mengingat kehadirannya di media sosial (Twitter: 1,4 juta pengikut, Instagram: 950.000 pengikut dan masih meningkat) itu adalah hal yang tidak mengejutkan. Maya juga bisa bersikap tegas ketika keadaan mengharuskannya begitu.

“[Ilmuwan dan pencinta lingkungan] mereka sangat sibuk melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak punya waktu untuk mempromosikan pekerjaan mereka," kata Maya.

"Kemudian ada anak muda yang tidak tahu harus melakukan apa. Maka saya sangat berharap bisa menjadi penghubung diantara keduanya dan membuat mereka sama-sama produktif,” lanjutnya.

Dalam beberapa minggu terakhir ini, dia telah kembali ke Belum untuk acara konservasi hewan di taman komunitas di Cheras dan berpartisipasi dalam membersihkan sungai.

Namun dia merasakan bahwa negaranya sesungguhnya bisa melakukan lebih banyak untuk lingkungan.

“Tantangannya masih pada soal implementasi. Jadi, walaupun pemerintah dan pejabat membahas tentang lingkungan, tetapi 100 persen komitmen murni masih belum ada di sana. Saya belum melihat ada politikus yang mengambil sikap dalam soal itu,” kata Maya.

Maya mengakui bahwa ketakutan terbesarnya adalah kehancuran keanekaragaman hayati atas nama profit.

Dia sangat kritis terhadap industri kelapa sawit, dengan alasan bahwa, “Ketika kita berbicara tentang industri kelapa sawit, pemenang sesungguhnya hanyalah dua atau tiga orang. Itu bukanlah sesuatu yang menguntungkan bagi seluruh desa atau komunitas.”

Tapi mengapa dia mulai peduli?

Mungkin karena didikan sejak kecil, ayahnya dan kakek buyutnya yang berasal dari Jerman (yang merupakan penjaga hutan), menanamkan kecintaan pada hutan dan lingkungan secara umum.

Ayah Maya seringkali membawanya ke bukit untuk mengumpulkan blueberry dan mengunjungi sungai.

“Malaysia memiliki keanekaragaman hayati yang banyak dan begitu pula Indonesia…kita masih memiliki banyak yang harus dilindungi dan dihargai. Kita masih memiliki pilihan,” katanya. 

Namun apa yang bakal terjadi jika kita menjauh dari minyak kelapa sawit? Dan bukankah kerusakannya telah terjadi?

“Saya bukan di posisi untuk menghakimi; apakah kita telah melampaui batas atau tidak. Namun saya berada di posisi untuk berkata bahwa kita seharusnya memikirkan hal ini, dan kita harus mendalaminya. Saya ingin kita memiliki lebih banyak profesional untuk melakukan ini,” kata Maya.

Aidil (yang memiliki akun @sunfloweraidil) rekan penggiat lingkungan, menjelaskan, “Kekuatan terbesar Maya adalah pendekatannya. Dia memiliki cara untuk menerima segala konsep lingkungan dan menyampaikan dengan cara yang dapat dimengerti publik. Dia menjadikan isu lingkungan dapat dicapai.”

Maya sendiri menyatakan, “Hanya ada beberapa orang yang mampu mencerna isu lingkungan.”

Orang-orang yang mungkin mencibir aktivis yang berasal dari kalangan selebritas. Akan tetapi, di Malaysia dan Indonesia, kita sangat membutuhkan suara dari high profile untuk meningkatkan kesadaran dan memunculkan perdebatan, yang pada akhirnya semua ini adalah hutan KITA yang terbakar.

Di waktu yang sama, diamnya para perusahaan perkebunan selama gencarnya kabut ini justru menjadi sangat mencolok. Mereka harus sadar bahwa diam itu bukan emas.

Diam tidak akan membela mereka karena bahaya yang sesungguhnya adalah kehilangan dukungan dari negara asal mereka.

Akhirnya, kita harus memutuskan apakah industri kepala sawit adalah bagian dari masa depan kita atau tidak?

Dan jikalau itu adalah masa depan kita maka kita harus yakin bahwa industri ini harus melayani kepentingan orang banyak dan bukan sebaliknya.

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com