Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Terjal Partai Demokrat dalam Melengserkan Presiden Trump

Kompas.com - 28/09/2019, 20:02 WIB
Ericssen,
Ardi Priyatno Utomo

Tim Redaksi

WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Suhu politik di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat (AS) sedang mendidih pada pekan ini.

Setelah spekulasi berkepanjangan, Partai Demokrat akhirnya memulai penyelidikan pemakzulan resmi terhadap Presiden Donald Trump. Apakah manuver politik ini akan melengserkan Trump dari kursi kepresidenan?

Politik bukan sebuah ilmu pasti atau eksakta. Apa pun tentunya bisa terjadi. Namun jika melihat realita politik, secara matematis Demokrat akan menghadapi jalan yang sangat terjal untuk mendepak presiden berusia 73 tahun itu.

Baca juga: Trump Tak Peduli Campur Tangan Rusia dalam Pilpres 2016, karena AS Juga Melakukannya

Berhasil di DPR, Gagal di Senat

Pemakzulan Trump kelihatannya hampir pasti akan lolos di DPR AS (House of Representatives). Sejauh ini, mayoritas anggota majelis rendah itu telah menyatakan dukungannya.

Saat ini, DPR AS dikuasai Partai Demokrat yang menguasai 235 kursi. 198 kursi dipegang Partai Republik. Sisanya, dua kursi, masing-masing diduduki politisi independen dan satu lagi sedang kosong. Diperlukan mayoritas 218 kursi untuk memakzulkan Trump.

Tercatat hingga Jumat malam (27/9/2019) waktu setempat, 225 dari 435 anggota DPR AS mendukung pemakzulan Trump.

Tidak mengejutkan jika dari 225 politisi itu, hanya dua yang bukan anggota Demokrat. Yakni Mark Amodei, Republikan dari daerah pemilihan (dapil) Nevada distrik 2 dan Justin Amash, Independen dari Michigan distrik 3.

Proses pemakzulan di DPR akan dilanjutkan ke Senat, di mana 100 Senator akan menentukan nasib kepresidenan Trump.

Di Senat inilah, pemakzulan sangat berpotensi dihalangi oleh Partai Republik yang mengontrol Senat dengan mayoritas 53 kursi.

Secara matematis, Demokrat yang memegang 47 kursi memerlukan setidaknya 20 senator Republik bergabung dengan mereka untuk mencapai angka supermayoritas dua pertiga suara untuk melengserkan Trump.

Di atas kertas, Senator Demokrat memerlukan lobi politik yang keras serta bukti kuat untuk meyakinkan Republik bahwa Trump telah menyalahgunakan kekuasaannya dan mengkhianati konstitusi, serta sumpah jabatannya sebagai presiden sehingga layak dimakzulkan.

Baca juga: Skandal Trump Desak Presiden Ukraina, Utusan AS untuk Ukraina Mundur

Polarisasi Politik dan Era Hyper-Partisan

Polarisasi politik di AS antara kubu konservatif dan liberal semakin tajam dalam satu dekade terakhir, terutama sejak terpilihnya Barack Obama sebagai presiden pada 2008.

Senat yang dulunya dikenal sebagai lembaga deliberatif yang bipartisan juga ikut terseret polarisasi.  Deadlock atau kebuntuan politik semakin sering terjadi di Majelis Tinggi AS itu.

Jika dahulunya banyak legislasi bipartisan yang dihasilkan, saat ini jangankan menghasilkan produk hukum, jumlah senator yang berdiri di tengah dengan ideologi sentris semakin menyusut.

Senator Demokrat semakin bergerak ke kiri atau liberal sedangkan senator Republik semakin bergerak ke kanan atau konservatif yang memunculkan terjadinya era politik hyper-partisan.

Pelacakan yang dilakukan oleh FiveThirtyEight menunjukan hampir separuh, yaitu 24 Senator Republik mencatatkan angka di atas 90 persen dalam memberikan suaranya mendukung kebijakan atau calon pejabat yang diajukan Gedung Putih Trump.

Baca juga: Trump Pertimbangkan Coret Perusahaan China dari Bursa AS

Senator West Virginia Shelley Moore Capito menduduki urutan teratas dengan meraup angka sebesar 95.7 persen.

Sebanyak 18 Senator berada di rentang 80-90 persen, dan lima senator di rentang 70-80 persen. Jika dijumlah total ada 47 Senator Republik yang sangat konsisten mendukung kebijakan Trump.

Hanya ada enam senator yang sering menentang Trump. Itu pun hanya tiga yang berada di bawah angka 50 persen.

Dua dari tiga senator ini, Lisa Murkowski dari Alaska dan Susan Collins dari Maine, masing-masing dengan 45.5 persen dan 33.3 persen memang dikenal sebagai senator moderat sentris yang kerap berseberangan dengan Trump.

Statistik di atas menunjukkan mencari 20 senator Republiken untuk mendukung pemakzulan bagaikan mencari jarum di jerami bagi kaukus senat Demokrat.

Satu hal yang juga perlu diingat adalah, belum tentu 47 senator Demokrat akan bersatu kokoh untuk memakzulkan Trump.

Baca juga: Rusia Desak AS Tak Rilis Percakapan Trump dan Putin

Senator-senator Demokrat seperti Joe Manchin dari West Virginia dan Doug Jones dari Alabama terkadang memilih mengabaikan partai mereka sendiri dengan mendukung kebijakan Trump.

Posisi politik ini diambil karena West Virginia dan Alabama adalah negara bagian konservatif atau kerap disebut red states yang memberikan tingkat dukungan yang sangat tinggi kepada Trump.

West Virginia bahkan adalah negara bagian di mana Trump meraih kemenangan terbesar di pilpres 2016 dengan dukungan sebesar 68.5 persen.

Manchin dan Jones tahu benar mereka perlu hati-hati memberikan suara mereka di Senat untuk tidak menimbulkan amarah konstituen terutama ketika mendekati pemilu.

Baca juga: Ketua DPR AS: Trump Tak Memberi Kami Pilihan

 

Tekanan Pemilu dan Akar Rumput

Kemunculan gerakan politik akar rumput seperti Tea Party yang konservatif dan Progresif yang liberal memberikan tekanan tinggi kepada senator untuk menyesuaikan posisi politik mereka jika tidak ingin ditantang oleh calon akar rumput di pemilihan pendahuluan (primary) partai.

Bagi senator petahana, tidak ada lagi jaminan mereka dapat kembali memenangkan nominasi partai dengan mudah untuk kembali mencalonkan diri.

Gerakan akar rumput yang sangat agresif telah terbukti berhasil menumbangkan senator petahana yang dinilai kurang konservatif, kurang liberal, atau terlalu moderat.

Tercatat sejak 2008, tiga senator Republik, yaitu Richard Lugar (Indiana), Lisa Murkowski (Alaska), Bob Bennett (Utah) dan 1 Demokrat, Arlen Specter (Pennsylvania) keok di tangan rekan partai mereka sendiri di primary.

Baca juga: Trump Sebut Whistleblower Tak Berbeda dengan Mata-mata atau Pengkhianat

Senator-senator ini dinilai tidak mencerminkan wajah baru dari partai yang menginginkan perwakilan mereka di Kongres untuk tidak terlalu sering berkompromi dengan partai lawan.

Menajamnya polarisasi juga terlihat di pemilu 2016 ketika untuk pertama kalinya hasil pilpres selaras 100% dengan hasil pemilihan senat.

Saat ini hanya ada dua senator Republiken yang berasal dari negara bagian yang dimenangkan Hillary Clinton di pilpres 2016.

Mereka adalah Collins dan Senator Cory Gardner dari Colorado. Kedua senator ini akan menghadapi medan pertempuran yang sulit untuk kembali terpilih pada pemilihan senat 2020.

Bagi 51 senator Republik lain, mendukung pemakzulan Trump adalah bunuh diri politik terutama ketika mereka kembali mencalonkan diri untuk periode berikutnya di pemilu Senat.

Pemilih dari negara bagian yang dimenangkan Trump berpotensi menghukum Senator yang berani mengambil posisi politik memakzulkan Trump.

Baca juga: Sosok Pelapor Percakapan Telepon Trump dan Presiden Ukraina adalah Pejabat CIA?

Publik Amerika sendiri masih terbelah menyikapi penyelidikan pemakzulan ini. Menurut survei Politico/Morning Consult, masing-masing yang mendukung dan menolak pemakzulan berada di angka 43 persen.

Dukungan pun masih terpolarisasi berdasarkan identitas partai. Yaitu 79 persen pemilih Demokrat mendukung pemakzulan.

Kemudian hanya 10 persen pemilih dari partai penguasa yang menyatakan dukungan. Adapun dari pemilih independen tercatat 39 persen.

Pemakzulan dalam sejarah AS sesungguhnya belum pernah terjadi. Meski, ancaman pemakzulan pernah membuat Richard Nixon memilih mundur pada 1974, demi menghindari pemecatan atas skandal Watergate.

Dua presiden lain gagal dimakzulkan, yakni Andrew Johnson (1868) dan Bill Clinton (1998), setelah DPR AS resmi memecat keduanya, namun digagalkan oleh Senat.

Baca juga: Sosok Whistleblower yang Bikin Trump Terancam Dimakzulkan Masih Misteri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com