Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Mawlamyine, Kota yang Ditinggalkan Penduduknya

Kompas.com - 21/09/2019, 18:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mereka adalah penjajah yang kejam – menghancurkan elit pribumi, menebang ribuan hektar hutan yang belum terjamah dan membuka sawah luas yang dikerjakan oleh buruh imigran dari India, terutama orang Bengal dan Tamil.

Myanmar masa kini, termasuk paranoia dan patologinya, harus dibaca dalam konteks masa lalunya yang sarat gejolak dan pertumpahan darah.

Salah satu dakwaan paling tajam terhadap Inggris ditulis oleh seorang penduduk Mawlamyine, Eric Blair (lebih dikenal sebagai George Orwell), seorang perwira polisi kolonial yang novelnya, “Burmese Days” (Hari-Hari di Burma), menangkap kemunafikan, rasisme dan kekerasan pada zaman itu.

Meski begitu, jejak-jejak sisa masa koloniallah yang tetap menarik. Dalam sebuah lingkungan dengan pengaruh Buddha yang kuat, ada jejak-jejak masa lalu yang lebih mendunia dengan keberadaan gereja-gereja Anglikan, Katolik dan Baptis, serta beberapa masjid.

Gereja Katolik St. Patrick, dengan lonceng abad ke-19-nya yang masih utuh, dan Gereja First Baptist, yang dinding kelabunya telah terkelupas dan menghitam oleh usia, masih memberikan pelayanan ibadah ke jemaat yang leluhurnya dibaptis oleh misionaris era Victoria.

“Sejarah gereja ini sangat penting bagi saya,” kata Joseph, seorang pastor yang sedang dalam masa orientasi di Gereja St Patrick.

Keluarga Joseph pertama kali menetap di wilayah Ayeyarwady setelah perang Inggris – Burma Pertama (1824 – 1826), menjadi salah satu dari banyak orang Katolik Tamil dari India Selatan yang bermigrasi ke Myanmar.

Komunitas tersebut kini berjumlah 50.000 jiwa, hanya setitik kecil dari populasi Myanmar yang sebesar 53,5 juta jiwa.

Lebih jauh ke utara gereja, Tim Ceritalah bertemu Hussein, seorang pria setempat berusia 63 tahun yang mengelola Masjid Surtee Sunni Jamae.

Dengan bangga dia bercerita bahwa komunitas Muslim Surti, yang berasal dari Gujarat, telah memiliki masjid itu sejak 1846, ketika dibangun oleh Inggris untuk pegawai sipilnya yang berasal dari Teluk Bengal.

Kakek Hussein berasal dari tempat yang sekarang adalah Pakistan – hal ini memberinya rasa keterikatan dengan masjid tersebut, yang terhubung dengan sejarah keluarganya.

Seorang tukang perahu di Attaran, Mawlamyine, kota yang kini ditinggal oleh generasi mudanya.Tim Ceritalah Seorang tukang perahu di Attaran, Mawlamyine, kota yang kini ditinggal oleh generasi mudanya.
Ada jauh lebih banyak hal menarik di kota ini dari pada sekadar Pagoda Kyaikthanlan yang dikabarkan mengilhami puisi “Mandalay” karya Rudyard Kipling – namun pada nyatanya tidak ada promosi dan publikasi tentang sejarah Mawlamyine yang kaya.

Dua tahun lalu, gereja First Baptist memiliki sekitar 50 anggota. Namun, sejak kehilangan sebagian besar anggotanya yang memilih pergi ke Yangon, Singapura, Australia, Thailand atau Amerika Serikat untuk kesempatan kerja yang lebih menjanjikan, kini yang tersisa hanya sekitar 15 anggota.

Namun, Hussein dan Joseph tetap bertahan di kota tersebut – yang terdengar ironis mengingat latar belakang mereka yang berasal dari keluarga imigran.

“Saya ingin tetap tinggal dan merawat gereja ini,” kata Joseph, berdiri seperti penjaga di pintu gereja berwarna hijau yang terbuka itu.

“Orang-orang datang ke sini untuk menemukan Tuhan dan melihat bangunan tua ini. Mereka harus tahu sejarah gereja ini. Saya ingin merawatnya dan menceritakan kepada orang-orang tentang kisah dan budayanya,” tuturnya dengan senyum yang merekah.

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com