Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/09/2019, 11:51 WIB

BEIJING, KOMPAS.com — Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah mengumumkan keputusan untuk mencabut Rancangan Undang-Undang Ekstradisi secara penuh, Rabu (4/9/2019).

RUU kontroversial tersebut telah memicu terjadinya krisis politik di Hong Kong dalam beberapa bulan terakhir, dengan massa yang menentang perubahan Undang-Undang Ekstradisi itu memilih turun ke jalan.

Aksi protes telah berlangsung hingga 13 pekan sejak Juni lalu, dengan beberapa pekan terakhir kerap berujung bentrokan dengan aparat keamanan.

Pencabutan RUU Ekstradisi menjadi satu dari lima tuntutan yang disampaikan pengunjuk rasa kepada pemerintah Hong Kong.

Baca juga: Pemimpin Hong Kong Putuskan Cabut RUU Ekstradisi, Ini 4 Faktanya

Kini, setelah pemimpin Hong Kong menyatakan pencabutan RUU Ekstradisi, para pengunjuk rasa disebut sudah tidak lagi memiliki alasan untuk melanjutkan aksi protes dan melakukan kekerasan. Demikian menurut surat kabar China Daily, Kamis (5/9/2019).

China Daily, yang dikelola pemerintah mengatakan, keputusan pencabutan RUU Ekstradisi itu merupakan "tanggapan yang tulus dan sungguh-sungguh terhadap suara komunitas... (yang) dapat ditafsirkan sebagai tanda perdamaian yang diperluas kepada mereka yang telah menentang RUU selama beberapa bulan terakhir".

Aksi protes warga Hong Kong telah dimulai sejak Maret lalu menyusul diperkenalkannya RUU Ekstradisi pada Februari. Namun, aksi turun ke jalan baru terjadi di bulan Juni.

Demonstrasi semula menuntut pembatalan RUU Ekstradisi setelah berbulan-bulan berkembang menjadi gerakan untuk reformasi demokrasi yang lebih luas di kota bekas pendudukan Inggris itu.

Baca juga: Hong Kong Putuskan Cabut RUU Ekstradisi yang Picu Gelombang Demonstrasi

Demonstrasi yang dilakukan massa pro-demokrasi itu pun membawa krisis politik terburuk sejak kembalinya Hong Kong ke China pada 1997 dengan status otonomi khusus.

Tajuk rencana surat kabar China Daily mengatakan, "Para pengunjuk rasa kini tidak punya alasan untuk melanjutkan aksi kekerasan".

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman:
Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com